Menyatu dalam tubuh dan jiwa

9 1 0
                                    

Dibalik kaca toko swalayan terlihat Birawa berjalan di tengah guyuran hujan. Jauh meninggalkan RSUD Malang, memasuki jalanan sepi jauh dari rumah warga. Seorang Ibu melihat anak muda berjalan sempoyongan di derasnya hujan. Tersentuh hatinya belas kasihan, memanggil,

"Nak! Hujannya deras! berteduhlah di sini!"

Birawa menoleh merespon panggilan. Melihat seorang Ibu tampak bersahaja mengenakan jarik motif sulur lengkap dengan kemban melambaikan tangan. Berdiri di depan pintu gubug reyot menyatu pada batang pohon beringin besar. Tubuh basah kuyup dengan langkah gontai semakin mendekat tetap menatap. Teringat Ibunya yang selalu mengenakan pakaian seperti itu, hatinya terasa terobati, bertanya,

"Ibu memanggil, saya?"

"Ya, nak! Berteduhlah sejenak di sini! Tunggu sampai hujan reda. Duduklah!"

"Terima kasih." Sambil sungkem pada ibu yang baru dikenalnya.

Menatap Birawa seakan merasakan sesuatu menjalar menyentuh hatinya, ketika telapak tangan saling menyentuh. Teringat sentuhan kasih seseorang yang tak pernah dia lupakan. Pintu belakang terbuka lebar, melihat suaminya hilang dibalik dinding bambu. Seakan ingin memperkenalkannya pada anak muda yang duduk di bongkahan batu andesit dengan relief motif tanaman sulur disamping pintu.

"Namamu siapa, nak?" selidiknya.

Betapa terkejut melihat seluruh tubuh dan pakaian yang dikenakan anak muda dihadapannya sudah kering. Tak setetes pun air hujan di baju dan tubuhnya.

"Birawa."

"Kalau Ibu, panggil saja Gewa. Minumlah air hangat dan ini telanlah untuk menghangatkan tubuhmu." Sambil menyodorkan gelas batok kelapa berisi air dan sesuatu mirip biji buah salak untuk ditelan.

"Apa ini, Bu?"

"Telan saja, nanti kamu akan merasakan kasiatnya." Tindak tanduknya yang kalem dan santun, tampak anggun dengan kepang rambut panjangnya.

Birawa menelan dan meminumnya karena haus. Beberapa menit kemudian tubuhnya merasakan sejuk. Seperti berteduh dirindangnya pohon. Saat mengetahui lengan dan seluruh tubuh terbalut ketat tanaman sulur, seakan tak percaya dengan apa yang dialami. Antara pikiran dan jiwanya masih belum siap melihat realita. Masih pengaruh obat bius, berusaha untuk tetap sadar.

"Mungkin ini sebuah mimpi. Iya kan, Bu?"

Jari-jari kedua tangan Gewa perlahan mencelikkan mata Birawa lebar-lebar satu per satu, menatap kedalaman kornea mata, pupil dan lensa mata. Tatkala melihat struktur lensa cembung sudah berubah, tersusun dari ribuan rangkaian heksagonal. Yang mampu melihat entitas dan memunculkan secara nyata dan melihat dimensi lain. Seperti munculnya tanaman sulur dari tubuhnya. Membuktikan bertambahnya rangkaian serabut saraf pada retina mata. Tersenyum puas menepuk pundak kanan Birawa beranjak menuju amben menjawab,

"Ya." Dengan posisi membelakangi, tangan kirinya melambai sekali. Mengisyaratkan tidak apa-apa.

"Kemampuan lensa matamu jauh melebihi siapa pun. Bahkan mata seekor capung sekali pun," gumam Gewa dalam hati.

Birawa seakan tak menghiraukan yang dia dengar. Hanya memandang heran tatkala tanaman sulur ke tarik masuk ke dalam kulit tubuhnya.

"Itu sudah menyatu dengan tubuh dan jiwamu. Tanpa kau ucap, hanya lewat kendali otak, dia akan muncul. Seperti kau menggerakkan anggota tubuhmu." Birawa diam tak menjawab. Mencoba meresapi makna dari ucapan tersebut.

Gewa mengambil sesuatu dibalik tumpukan kain batik motif sulur, menyerahkannya kepada Birawa dengan tatapan penuh kasih.

"Di dalam buntalan ini, emas. Buat bekal perjalananmu." Menyunggingkan senyum bagai seorang Ibu kepada anaknya.

Nusantara bangkitlahWhere stories live. Discover now