Ingatan pulih

5 1 0
                                    

Stasiun Kalibaru terlihat semarak. Bangunan dipercantik bendera dekorasi dinding. Disambut umbul-umbul merah putih dan pernak pernik bendera hias.

"Wow..., meriah sekali! Ooo, iya! Besok kan hari kemerdekaan! Hampir lupa," ucap Birawa bermonolog mendekati pintu masuk.

Hanya mengenakan celana jeans dengan kaos putih lusuh berlubang, terlihat dadanya yang bidang, menjadi perhatian banyak orang. Dirinya tak merasa malu, hanya membalas senyuman menikmati perjalanan. Kereta api terus melaju makin cepat selepas menuruni perbukitan tinggi hutan Gumitir. Diiringi alunan lagu Rayuan Pulau Kelapa, terdengar dari speaker yang terpasang di dinding gerbong. Menambah rasa bangga dan kecintaan para penumpang pada tanah air Indonesia.Kereta api sesekali menderu melintasi padatnya rumah penduduk di sepanjang bantaran rel kereta api di panas terik. Sampai di pemberhentian terakhir Stasiun Kotabaru Malang. Kemeriahan nuansa Merah Putih menyambutnya lagi sampai pintu keluar Stasiun.

"Kereta api tak lepas dari sejarah kelam bangsa ini dalam meraih kemerdekaan," gumam Birawa meninggalkan Stasiun.

Melanjutkan perjalanan naik angkutan umum menuju daerah Lawang, kota Malang. Turun di depan pintu gerbang Liponsos. Terlihat dari papan nama yang terpampang, sesuai petunjuk alamat yang dibawa. Tak terlihat petugas berjaga di pos sekuriti, melangkahkan kaki menuju pintu gedung utama paling depan.

"Permisi," ucap Birawa. Berdiri mengetuk pintu kupu tarung yang sudah terbuka lebar. Dari dalam terlihat Bapak paruh baya baru saja mengganti baterai jam dinding di ruang kunjung dengan bantuan sekuriti memasangkan kembali.

"Ada keperluan apa, Mas?" Tertegun menatap pemuda di hadapannya sedikit curiga. Berkaos lusuh meninggalkan lubang besar terlihat dadanya.

"Maaf Pak, kalau saya mengganggu. Saya di minta Ibu Lestari menemui Bapak Adenan. Katanya ada pasien yang ingin di sembuhkan."

"Ya, saya sendiri. Pasien yang mana, ya? Saya tidak mendapat pesan apapun dari Bu Lestari. Silahkan duduk, Mas. Saya coba hubungi beliau sebentar." Sekuriti lebih dulu meninggalkan ruang kunjung, kembali ke pos jaga

"Terima kasih." Melihat Pak Adenan membalikkan badan mulai menghubungi Bu Lestari lewat ponselnya.

Birawa melangkah perlahan melihat hasil kerajinan warga binaan tertata rapi dan bersih terpampang di dalam etalase-etalase kaca. Dari belakang Pak Adenan mendekat.

"Dengan nak Birawa, ya?" tanyanya memastikan.

"Ya, saya Birawa."

"Bu Lestari bilang, nak Birawa di minta menyembuhkan warga binaan kami bernama Endhot."

Nama aneh sedikit menggelikan terdengar di telinga Birawa.

"Mari kita temui Endhot sekarang! Bu Lestari sebentar lagi ke sini. Dia masih dalam perjalanan," ajaknya. Perbincangan berlanjut menyusuri koridor terasa teduh dan sejuk oleh rindangnya pepohonan berbatang besar di kanan jalan.

"Kebetulan mereka sudah makan siang. Biasanya berkumpul duduk dan tiduran di teras. Nak Birawa tunggu di gazebo. Saya coba komunikasi dengan dia dulu." Meninggalkan Birawa sendiri, berdiri mengedarkan pandangan.

"Lahannya cukup luas. Semilir angin di sini cocok untuk lesehan. Bisa melihat aktivitas warga binaan." Sejenak memperhatikan tingkah warga binaan, tersentuh hatinya rasa belas kasihan. Tatapan matanya mengikuti Pak Adenan menuntun Endhot mendekat.

"Endhot, kenalkan ini Birawa." Endhot tersenyum malu. Memainkan jemari tangan di depan dada, tak berani mendekat. Semakin berontak tatkala tubuhnya di dorong mendekat.

"Hai, Mas!" sapa Birawa santun. Mencoba menjulurkan tangan kanan meraih telapak tangan kanan Endhot saling jabat tangan. Diam-diam mentransmisikan kekuatan energi inti sinar aura putih kebiruan melalui telapak tangan. Dan entah mengapa Endhot merasakan ketenangan dalam dirinya. Belenggu selama ini mengekang lepas. Mudah berinteraksi meski masih terbata-bata.

Nusantara bangkitlahWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu