A - 076

123 3 0
                                    

"Apa kau merasa nyaman bersamaku? Aku ingin kau menjawab dengan jujur," kata Erga.

Agatha menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Kau lebih nyaman bersamaku atau bersama Julian?" Tanya Erga.

Agatha tersenyum. "Tentu saja aku lebih nyaman dengan Julian. Ya, meski pun aku memilihmu."

Erga cemberut.

"Oh, ya, aku lupa." Tampaknya Agatha teringat sesuatu. "Aku belum mengundang Julian ke acara pertunangan kita."

"Bukankah kau bilang, kau sudah meminta Rowena datang bersama Julian?" Tanya Erga.

Agatha menghela napas berat. "Tapi, bisa jadi Rowena datang sendirian. Jika dia datang sendirian, bisa-bisa Kak Agriawan mendekatinya. Itu akan menjadi masalah."

"Ya sudah, tinggal telepon saja," ucap Erga.

Agatha menatap Erga. "Bagaimana jika kau yang mengundangnya?"

"Kenapa harus aku? Katamu aku hanya mengurus Rowena dan kau yang akan mengurus Julian," ucap Erga.

"Baiklah, kalau begitu aku akan pergi menemui Julian," ucap Agatha sambil membereskan majalah di meja lalu beranjak dari tempat duduknya.

Erga menahan bahu Agatha agar tidak pergi. "Sebaiknya aku saja yang menemuinya."

Agatha mengangguk. "Bagus."

Matahari terbenam di sisi barat. Langit mulai gelap. Giliran rembulan dan bintang yang menerangi malam.

Di sebuah restoran, Julian tampak duduk sendirian di salah satu meja. Pria itu mengotak-atik laptopnya. Mungkin ia sedang mencari suasana baru, karena bosan di kantor. Sesekali ia meneguk minuman pesanannya.

Terdengar suara kursi bergeser. Julian mendongkak menatap siapa yang menggeser kursi, ternyata Erga. Pria itu duduk berhadapan dengannya.

"Sedang apa kau di sini?" Tanya Julian sambil melihat ke sekeliling.

"Aku sendirian, Agatha tidak ikut," ucap Erga seolah bisa membaca pikiran Julian.

"Oh." Julian kembali fokus ke layar laptopnya.

Erga memperhatikan Julian. Ia menyodorkan sebuah kartu undangan pertunangan.

"Aku harap kau datang. Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kau adalah sahabatnya?" Ucap Erga.

Julian tidak kaget sama sekali. Ia bahkan tidak melirik kartu undangan tersebut sedikit pun. "Aku sudah tahu."

"Rowena yang memberitahumu?" Tanya Erga.

Lagi-lagi Julian mengangguk.

"Kau akan datang, kan?" Tanya Erga.

"Iya, karena aku sahabatnya, tentu aku datang," kata Julian sambil menutup laptopnya kemudian menatap Erga.

Erga mengangguk-anggukkan kepalanya meniru Julian. "Bagus. Jadi, kau tidak berniat mengucapkan selamat untukku?"

Julian menatap Erga dengan tatapan datar. "Kenapa aku harus memberikan ucapan selamat? Bukankan kau mendapatkan Agatha dengan cara licik?"

"Aku mendapatkan Agatha karena aku mencintainya dan dia juga mencintaiku," sanggah Erga.

"Kau memaksanya melakukan hubungan intim agar dia tidak punya pilihan untuk menolak, kan?" Ucap Julian dengan tatapan penuh kemarahan.

Sepertinya Rowena yang mengatakannya, batin Erga.

Erga menggeleng. "Aku tidak pernah memaksa Agatha untuk melakukannya. Kami sama-sama dalam keadaan mabuk dan tidak sengaja melakukannya."

"Kau pasti sengaja melakukannya. Aku benar-benar ingin menghajarmu," geram Julian sambil menarik kemeja Erga.

Erga menyeringai. "Agatha sangat mabuk. Aku masih sedikit sadar. Memangnya jika kau jadi aku, kau akan menyia-nyiakan kesempatan itu? Dia benar-benar sangat cantik apalagi saat pakaiannya terlepas semua. Sial, aku tidak bisa menahan diri. Kami melakukannya. Agatha sangat menikmati perlakuanku."

"Bangsat!!" Julian memukul wajah Erga dengan keras hingga pria itu terjatuh ke lantai.

Beberapa pengunjung dan pelayan restoran memisahkan mereka.

🌠🌠🌠

14.16 | 1 Agustus 2021
By Ucu Irna Marhamah

ASTROPHILEWhere stories live. Discover now