A - 057

206 10 0
                                    

Agatha melemparkan kamera tersembunyi dan penyadap suara yang sudah hancur itu ke meja di hadapan Erga. Tidak lupa cincin pemberian Erga juga ada di antara remukan penyadap suara tersebut.

"Aku tidak mengira kau melakukan ini padaku. Kau tahu, ini termasuk kejahatan?" Tanya Agatha dengan ekspresi kesal.

"Aku melakukan ini untuk melindungimu, seperti yang aku katakan waktu itu. Tanpa semua ini, aku tidak akan tahu apa yang terjadi padamu," kata Erga.

"Tapi dengan memasang kamera tersembunyi dan penyadap suara di rumah orang lain tanpa persetujuan, sama saja kau mengintai gerak-gerik orang lain. Aku benar-benar tidak bisa menoleransi apa yang kau lakukan padaku kali ini. Kita putus." Agatha bergegas pergi meninggalkan Erga.

"Aku terluka saat tahu kau mencintai Rowena," ucap Erga.

Deg!

Langkah Agatha terhenti. Dari mana dia tahu? Tentu saja, kamera dan penyadap suara itu.

Erga mendecih. "Ini gila, aku cemburu pada seorang perempuan."

Agatha berbalik menatap Erga. "Aku membencimu, aku benar-benar membencimu."

"Aku mencintaimu, Agatha. Apa pun yang terjadi, kau akan tetap menjadi milikku," kata Erga.

Agatha tidak mempedulikan ucapan Erga. Ia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Tanpa mengetahui jika itu adalah langkah awal menuju mimpi buruk.

Erga selalu meneleponnya. Meski pun Agatha tidak mengangkat panggilan tersebut, ia tetap merasa terganggu. Beberapa kali Agatha berganti kartu, tetap saja pria itu menghubunginya. Entah dari mana ia menemukan nomor HP Agatha.

Bahkan pria itu mengirimkan pesan setiap 5 menit. Notifikasi bermunculan dan memenuhi ruang penyimpanan ponsel Agatha. Meski pun bukan pesan teror, tetap saja itu sangat mengganggu.

Bahkan saat Agatha berada di suatu tempat, Erga juga akan berada di sana. Bahkan saat tidur pun, seolah-olah Agatha bisa mendengar suara Erga. Padahal jelas-jelas ia sendirian di rumah.

Belum lagi barang-barang di rumahnya satu per satu mulai menghilang entah ke mana. Agatha berkali-kali mengganti sidik jari di pemindai pintu. Namun, tetap saja barang-barangnya menghilang.

Semuanya mulai terasa menakutkan. Hingga di satu titik Agatha kembali ke rumah Erga untuk menemuinya.

Agatha berdiri di depan Erga yang terlihat duduk santai di sofa.

"Aku hampir gila karena semua yang kau lakukan. Bisakah kau berhenti melakukan semua ini?" Tanya Agatha dengan suara bergetar.

"Kau terlihat ketakutan, duduklah," kata Erga sambil menunjuk sofa di depannya.

"Aku tidak mau! Aku mau kau berhenti menguntitku!" Teriak Agatha yang sudah di ambang kesabaran.

"Aku hanya ingin membantumu keluar dari jalur itu dan mencintaiku. Sayang sekali gadis secantik...."

"Aku tidak membutuhkan bantuanmu, Erga!" Potong Agatha.

Erga diam mendengarkan.

Agatha kembali bersuara, "Setiap hari kau muncul di mana-mana. Di supermarket, di taman, di kampus, di carnaval, di tempat aku menginjakkan kakiku, kau selalu ada. Kau juga mengirim banyak chat, pesan, dan menelepon setiap 1 menit sekali. Kau bisa membuatku gila. Aku sudah mematikan ponselku sejak 2 bulan yang lalu karenamu!"

"Kau melihatku di mana pun? Artinya kau selalu memikirkanku. Itulah sebabnya kau merasa seolah-olah aku berada di sekitarmu. Aku mencoba menelepon dan mengirim pesan karena aku peduli padamu. Kenapa kau begitu khawatir? Aku tidak mengirimkan pesan teror atau ancaman," ucap Erga.

"Berhenti bicara omong kosong, aku akan melaporkanmu pada polisi."

🌠🌠🌠

12.27 | 1 Agustus 2021
By Ucu Irna Marhamah

ASTROPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang