*****
TAK ADA YANG bisa menebak dari penampilan Yoona betapa gelap dan muram suasana hatinya saat ini.
Tampak luar, mengenakan gaun yang dengan sempurna menonjolkan kulitnya, Yoona tampak secerah sinar matahari. Bercahaya.
Bersinar-sinar.
Tapi di dalam, ia merasa tak bernyawa dan setumpul logam dingin.
Ketika berjalan di lorong gereja, ia menegakkan kepalanya penuh martabat, tapi berdiri melewati upacara di altar betul-betul neraka. Ia bisa merasakan banyak tatapan mata yang sama yang barusan memperhatikan mempelai pria dan wanita saling mengucapkan ikrar pernikahan menatap tajam ke punggungnya.
Ia menghindar menatap langsung pada best man, tapi, layaknya ketertarikan laron pada cahaya, matanya sepertinya bertekad untuk mati dalam api di tatapan mata biru laki-laki itu.
Lalu ia menggamit lengan Taehyung dan meninggalkan gereja lewat lorong tengah; ia menyisakan beberapa sentimeter di antara tubuhnya dan tubuh laki-laki itu. Sikapnya sama sekali tidak ramah dan kaku. Mereka nyaris seperti orang asing.
Tatapan berspekulasi mengikuti mereka, beberapa berbalut rasa tak suka dan iri. Ia ingin berhenti dan memberitahu wanita-wanita itu ia tidak memiliki sherif mereka, bahwa mereka boleh ribut memperebutkan laki-laki itu, dan ia tidak akan peduli. Ia bukan saingan mereka.
Segera setelah pernikahan ini berakhir ia tidak akan pernah perlu melihat laki-laki ini lagi dan ia senang akan hal tersebut.
Tinggal setengah jam lagi, pikir Yoona setelah melirik arlojinya tanpa kentara. Yuri sudah memberitahunya bahwa resepsi takkan berlangsung lebih dari sejam. Ia dan Siwon berencana pergi cepat karena mereka harus mengejar penerbangan malam keluar dari New Orleans menuju St. Thomas.
Semua urusan ini tidak berakhir cukup cepat bagi Yoona, yang kakinya mulai sakit gara-gara sepatu berhak baru yang agak sempit, nyaris sesakit pipinya akibat terus-menerus menyungingkan senyum tidak tulus. Ya Tuhan, ia tidak sabar lagi untuk meninggalkan kota ini. Ia bertekad tidak akan pernah melintasi papan kota Latham Green lagi setelah ia meninggalkannya kali ini.
Mungkin ia akan pergi malam ini dan bukannya besok seperti yang direncanakannya semula. Buat apa menunggu? Tidak ada yang menahannya di sini. Kalau ia kembali ke kabin—
“Yoona?”
Kepala Yoona tersentak mendengar suara familier itu.
Oh, sial.
“Hai, Seokjin.”
Ia sudah melihat Seokjin dan Irene di halaman gereja setelah upacara dan beberapa kali selama resepsi, datang dan pergi dalam jangkauan matanya saat mereka berbaur dengan tamu-tamu lain.
Irene menghindari bersitatap dengannya.
Yoona sempat merasakan tikaman rasa sesal karena kehilangan persahabatan mereka, tapi sadar hal itu tidak bisa dihindari.
Seokjin bertanya, “Bisakah aku bicara sebentar de-nganmu?”
“Kita sedang bicara.”
“Maksudku secara pribadi” Yoona sudah hampir menolak, tapi Seokjin buru-buru menambahkan, “Tolonglah, Yoona. Kita berutang itu pada satu sama lain, bukan?”
Yoona berbalik dan meninggalkan aula gereja tempat resepsi diadakan. Seokjin mengikutinya. Ia berhenti di koridor di luar.
“Kurasa ini sudah cukup pribadi.”
Seokjin tampak gugup dan terus bergerak-gerak dari satu kaki ke kaki lain dengan cara yang dulu dianggap Yoona menggemaskan, tapi sekarang terasa menyebalkan karena membuat laki-laki itu tampak plinplan.
“Aku sudah sering berpikir ingin meneleponmu,” Seokjin memulai.
“Aku senang kau tidak melakukannya. Pasti bakal terasa canggung. Dan salah. Kau sudah menikah, Seokjin.”
Seokjin tertawa masam, “Aku sangat sadar akan hal itu.” Yoona tidak mengomentari kelesuan dalam suara Seokjin. “Hanya saja… Irene dan aku, yah… Apakah kau tahu dia sedang hamil?”
Yoona terkejut, tapi tidak terpukul. Kenapa tidak? pikirnya. Belum lama berselang, gagasan anak Seokjin tumbuh di dalam tubuh Irene bakal sangat menyakitkan baginya.
“Tidak, aku tidak tahu. Selamat.”
“Itu tidak perlu,” sahut Seokjin sambil meringis.
“Seharusnya dia tidak mempertahankan bayi ini. Pernikahan kami sudah mulai hambar dan ini adalah upaya penyelamatan terakhir Irene untuk menyatukannya.”
“Seharusnya kau tidak memberitahuku semua ini, Seokjin. Permisi—”
“Yoona, please.” Seokjin meraih tangan Yoona ketika gadis itu berusaha pergi. “Aku perlu bicara denganmu.”
“Aku tidak mau dengar soal pernikahanmu. Itu bukan urusanku.”
“Tapi itu urusanmu. Aku melakukan kesalahan besar, Yoona. Kesalahan fatal. Aku sudah mengatakan itu waktu kau menangkap basah diriku dengan… eh… pada hari kita seharusnya menikah. Kurasa kau tidak memercayaiku. Yah, yang pasti aku sudah memaafkanmu karena meninggalkanku dan mempermalukanku di hadapan seisi kota waktu itu.”
Yoona berbalik seolah Seokjin barusan menamparnya. “Aku tidak ingat pernah meminta maaf padamu,” desisnya marah.
“Jangan berani-berani menjadikanku orang yang bersalah dalam hal ini. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku menutupi perbuatanmu dan Irene.”
“Aku tahu, aku tahu. Jangan marah. Please. Dengarkan aku dulu.”
Seokjin menoleh ke belakang seolah takut ada yang bakal melihat mereka. Butiran keringat bermunculan di dahinya. Yoona menyimpulkan dengan konyol bahwa Seokjin tidak berkeringat semenarik Taehyung Kim.
“Yoona, aku masih mencintaimu,” kata Seokjin putus asa. “Aku tidak bahagia bersama Irene. Dia… dia baik, tapi dia bukan kau. Dan dengan bayi yang sebentar lagi lahir, aku merasa terjebak. Yeah, itu dia, aku merasa terjebak.”
Di luar dugaan Seokjin, Yoona mulai tertawa, “Maaf kan aku, Seokjin.” ujarnya, melihat raut tak percaya melintasi wajah Seokjin. “Tidak ada yang lucu dari apa yang kau katakan. Hanya saja kurasa ini mungkin omongan sama yang kauberikan pada Irene tiga tahun lalu. Pada malam sebelum kau seharusnya menikahiku, kau mendadak merasa terjebak dan harus melakukan sesuatu yang nakal hanya untuk membuktikan kau masih bebas untuk melakukannya.”
Yoona menggeleng-geleng, merasa kasihan pada laki-laki itu. Dan pada dirinya sendiri.
Selama tiga tahun ia bertahan pada kenangan tentang cinta mendalam yang tak pernah ada. Seokjin adalah laki-laki yang dangkal. Lemah. Selalu menyalahkan orang lain atas ketidakbahagiaannya. Tukang mengeluh. Kenapa butuh waktu begitu lama bagiku untuk menyadari semua ini? batin Yoona.
“Aku menyesal kau tidak bahagia, Seokjin. Sungguh.”
Yoona berbalik memunggungi Seokjin dan mulai berjalan di sepanjang koridor.
“Yoona, aku mencintaimu. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Tidakkah itu berarti sesuatu?”
Yoona menghadap Seokjin lagi. “Itu berarti, kalau itu benar, kau sama tololnya denganku. Selamat tinggal, Seokjin.”
Yoona tidak bisa tinggal di sini lagi. Air mata menggenang di pelupuk matanya, dan sebentar lagi akan jatuh bercucuran. Ia akan meminta maaf pada Yuri nanti, dan, sebagai sahabat, Yuri akan mengerti.
Yoona berjalan cepat melewati sekelompok kecil orang yang berdiri di jalan yang menghubungkan gereja dengan aula dan bergegas menuju mobilnya. Beberapa detik kemudian, ia sudah mengebut di sepanjang jalan menuju danau, angin mengacak-acak tatanan rambutnya.
Ia meninggalkan asap debu di belakangnya, tapi dari baliknya tampaklah mobil sherif. Ketika Yoona melihatnya lewat kaca spion, melihat mobil itu makin dekat, ia menyumpah.
Alih-alih memperlambat laju mobilnya, seperti yang diperintahkan lampu merah di atas mobil sang sherif, Yoona menginjak pedal gas.
***
YOU ARE READING
Yoona's Return - Taehyung Yoona Version
RomanceRemake Story Taehyung-Yoona Version Original Story by Sandra Brown credits by readnovelsblog.wordpress.com Don't forget to vote and comment✨
