Part 9

175 35 2
                                        

***

Suara itu.

RUMAH TUA suka melesak dan membuat suara-suara berderit, kan?

Benar.

Dahan-dahan akan membentur atap waktu angin bertiup, kan?

Benar.

Jadi tidak perlu panik, kan?

Salah.

Karena suara-suara itu datang dari arah gudang di belakang rumah tempat ayahnya biasa membersihkan ikan. Suara itu tidak mungkin ditimbulkan oleh fondasi kayu yang melesak ke tanah ataupun angin.

Jantung Yoona berdebar begitu kencang hingga ia berpikir jangan-jangan ia cuma mengkhayalkan semua ini. Tapi waktu mendengar suara-suara itu lagi, seperti sesuatu atau seseorang melangkah menembus sesemakan di belakang gudang, ia mulai berkeringat dingin karena takut.

Suara itu semakin jelas.

Untungnya ia sadar ia sudah mematikan lampu dapur. Ia mengendap-endap ke jendela di atas bak cuci piring, yang memberinya pemandangan ke belakang lahan hingga sejauh dermaga dan danau jauh di sana.

Tangannya gemetar ketika menyibak tirai, membuat celah tak lebih dari 2,5 sentimeter, cukup untuk mengintip ke luar. Dan ...

Tidak ada apa-apa.

Malam itu gelap. Sangat gelap.

Bulan hanya tampak separuh, dan terhalang awan. Angin mulai bertiup kencang. Danau lebih beriak dibanding tadi siang. Kelihatannya seolah awan-awan di langit akan menimbulkan badai musim panas.

Yoona berdiri tak bergerak di jendela selama beberapa menit. Tak ada apa-apa di luar sana yang bergerak, kecuali pepohonan yang membungkuk anggun diembus angin. Apa yang didengarnya pasti cuma dahan-dahan yang tertiup angin. Ia menutup kembali tirainya.
Sambil menggeleng-geleng, merasa geli sekaligus jengkel pada dirinya sendiri karena sudah bersikap konyol, Yoona berbalik dan beranjak keluar dapur untuk kedua kalinya.

Lagi-lagi, ia baru sampai ambang pintu ketika mendengar suara lain.

TENGGG

TENGGG

BUGGHH

Kali ini bunyi besi beradu. Ayahnya menaruh ember-ember, peralatan berkebun, dan alat-alat pertukangan di gudang.

“Oh, Tuhan.” Merintih ketakutan, Yoona membekap mulut dengan jemarinya.

Siwon dan Yuri sempat mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang Yoona yang tinggal sendirian di danau.

“Tak pernah terjadi tindak kriminal serius di sana,” Siwon memberitahunya, “tapi pemuda-pemuda yang berpesta bir, mabuk, bisa membuat keributan.”

“Kau yakin tidak mau menginap di kota saja bersamaku?” tanya Yuri.

“Jangan konyol. Rumahmu bakal hiruk-pikuk sepanjang minggu. Aku akan lebih aman sendirian di danau.”

Sekarang Yoona menyesali keputusannya. Andai ia tidak begitu keras kepala, ia bakal meringkuk aman di kamar tidur tamu rumah Yuri dan bukannya gemetar ketakutan di kabin terpencil.

Ia tidak membuang-buang waktu lagi dan langsung menyambar telepon di dinding, yang tidak pernah diputus oleh orangtuanya. Dalam gelap, ia menabrak kursi dapur hingga terbalik. Jari kakinya membentur meja dengan keras saat ia menangkap pesawat telepon. Ia menekan angka 0 dan menunggu operator menjawab sambil menahan napas.

Begitu operator wanita itu menjawab, Yoona berkata, “Aku butuh bantuan.” Kata-katanya terdengar lirih, satu kata nyaris tumpang-tindih dengan kata berikutnya, meluncur keluar dari bibirnya yang gemetar. Yoona yakin dirinya terdengar histeris dan tidak masuk akal, tapi ia tidak bisa menahan diri, “Telepon polisi. Beritahu mereka untuk segera datang. Aku sendirian dan seseorang ada di luar kabinku di danau. Kurasa mereka mungkin akan mencoba mendobrak masuk.”

Walaupun kejadiannya tidak benar-benar seperti itu, lebih baik mencegah daripada menyesal belakangan. Lebih baik mengantisipasi ada penjahat daripada berdiam diri dan menunggu si penjahat beraksi. Lagi pula, itu bisa membuat pesannya terdengar gawat darurat. Berhasil. Tanpa ragu, si operator berkata, “Aku sudah menelepon kantor sherif. Seseorang akan segera tiba di sana.”

Yoona memberi si operator alamatnya dan menutup telepon. Siapa lagi yang bisa diteIeponnya? Tetangganya? Ia tidak kenal mereka. Bahkan nama pun tidak. Mereka baru pindah waktu ia sudah meninggalkan kota ini. Siwon dan Yuri? Ya. Kalau ternyata ketakutannya tidak terbukti, ia akan merasa sangat tolol, tapi…

Konsekuensi bersikap sok berani terlalu mengerikan untuk dibayangkan. Dua kali ia salah menekan nomor yang sudah dihafalnya luar kepala sebelum akhirnya teleponnya ke rumah Yuri terhubung. “Ayo, ayo, angkat teleponnya.” Ketika sudah jelas tidak ada orang di sana, Yoona menutup telepon, hampir menangis sekarang. Ia ketakutan.

Bagaimana kalau penjahat itu ada di luar sana, mengawasinya lewat jendela?

Ia nyaris pingsan ketika mengingat percakapan tadi siang. “Seharusnya kau menjadi tukang intip.”

“Dari mana kau tahu aku bukan tukang intip?”
Ya Tuhan! Laki-laki itu memperingatkanku soal orang sinting yang berkeliaran di sekeliling danau. Dia yang bersusah payah mencari di mana aku tinggal. Dia yang menyeberangi danau untuk menemuiku. Dan bukankah kata-kata terakhirnya—“Kita akan segera ber temu lagi, Yoona”—bisa berarti janji sekaligus ancaman?

Oh tidak.

Apa yang kuketahui tentang laki-laki itu? Tidak ada, kecuali namanya. Laki-laki itu diundang ke pesta pernikahan, tapi pembunuh berantai sering kali ada-lah pria-pria menawan yang membujuk korban-korbannya—

Hentikan! Kendalikan dirimu. Pikirkan sesuatu yang berguna untuk dilakukan. Jangan panik.

Berapa nomor telepon Park Jimin? Aku akan menelepon dan menanyainya tentang Kim Taehyung ini. Tapi berapa nomor telepon Jimin? Dan juga ini sudah malam. Lagi-lagi akan terasa tolol jika dia tiba-tiba bertanya tentang asal usul Kim Taehyung. Tapi karena ia sedang takut, ia sedang tolol.

Laci di bawah telepon macet. Yoona sudah mencoba membukanya beberapa kali, lalu menariknya kuat-kuat hingga laci itu lepas dan terbanting ke lantai. Buku telepon Latham Parish, beberapa pensil yang belum diraut, kain perca yang dipakai ibunya untuk mencocokkan warna cat, kupon untuk beli-satu-ikan-lele-untuk-makan-malam-gratis-satu, dan paku karatan, semua tersebar di lantai linoleum.

Kekacauan yang dibuatnya membuat Yoona tercenung sesaat. Begitu sadar, ia berlutut, salah satu lututnya menekan kepala paku. Ia memungut buku telepon. Tanpa menyadari ia tidak bisa membaca dalam gelap, dengan kalut ia mulai membolak-balik halaman usang dan sudah bergelombang itu.

Saat itulah ia mendengar langkah kaki berat di beranda. Ia mendekap buku telepon itu ke dadanya yang berdebar kencang. Matanya membelalak ketakutan. Ia merintih pasrah ketika kenop pintu depan berderak-derak seolah seseorang berusaha membukanya. Secara paksa. Tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

Ia menghela diri dengan bertumpu pada permukaan meja. Sekujur tubuhnya menjerit ketakutan. Ia bergerak di sepanjang dinding, beringsut-ingsut menuju ruang tamu, dan melihat dengan ngeri ketika kenop pintu berputar ke satu sisi, kemudian ke sisi yang lain.

Yoona terlonjak kaget ketika mendengar ketukan pelan di pintu. Ia tidak menduga penyusup akan mengetuk pintu. Ia menunggu, tapi terdengar ketukan, diikuti ketukan lain, makin lama makin tidak sabaran, keras, dan dramatis seperti jantungnya yang berdebar.

Sungguh tidak lazim bagi tukang intip atau pembunuh berantai untuk memberitahukan kedatangan-nya.

Tapi siapa lagi yang datang kalau bukan dia?

Sherif, tentu saja!

Kenapa aku tidak berpikir ke situ? pikir Yoona.

Ia bergegas menuju pintu, menarik selot kunci, dan dengan terengah membuka pintu.

Terkejut.

Kim Taehyung berdiri di ambang pintu.

Yoona menjerit ketakutan.

***

Yoona's Return - Taehyung Yoona VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang