Taehyung menunjuk udara dengan jari telunjuknya. “Nah, itu teori kedua orang-orang. Seharusnya kau punya bayi, tapi ternyata tidak.”

“Aborsi?” Yoona, ngeri membayangkan hal tersebut, cuma sanggup membisikkan kata itu dengan lirih, “Semua orang mengira aku kabur ke New Orleans untuk aborsi?” Ia menutup wajah dengan kedua tangan. “Pantas saja orangtuaku terpaksa pergi.”

Setelah beberapa saat, ia menengadah dan melotot ke arah Taehyung. “Beritahu aku sisanya. Apa lagi yang mereka katakan?”

“Dari sana semuanya lebih parah lagi.”

“Aku ingin tahu. Yuri tidak pernah mau memberitahuku apa yang dikatakan orang-orang tentang aku setelah aku pergi. Beritahu aku.” Taehyung tampak enggan.

“Beritahu aku.” ulang Yoona keras kepala.

Taehyung menghirup napas dalam-dalam, “Beberapa berpikir mungkin kau memakai narkoba.”

“Konyol. Apa lagi?”

“Ada yang bilang kau kena penyakit seksual menular, tapi rasanya mustahil. Beberapa mengira kau mungkin lebih suka perempuan daripada laki-laki.”

“Kau pasti bercanda!”

“Aku hanya mengulangi apa yang dikatakan Jimin, kau tahu. Teori yang paling terkenal, setelah teori bayi itu adalah bahwa kau… eh… lupakan.”

“Ayo, katakan saja.”

“Tidak, sebaiknya aku pergi.”

Taehyung bergerak seperti hendak bangkit. Yoona menangkap lengan laki-laki itu.

“Beritahu aku, sialan kau. Kau yang mengungkit-ungkit hal ini.”

Tatapan Taehyung bergerak perlahan menyusuri wajah Yoona yang tampak risau, kuciran rambut yang berantakan di puncak kepalanya, serta ikal-ikal lepas yang menempel ke lehernya akibat keringat.

Akhirnya tatapannya mendarat di bibir gadis itu. “Apakah kau frigid, Yoona?”

Yoona menarik tangannya dari lengan Taehyung. Ia menengadah pada laki-laki itu, terdiam tak percaya. “Hanya karena aku tidak mau menikah dengan Seokjin, mereka pikir aku frigid?”

Taehyung mengerutkan kening dan mengangkat bahu dengan asal, “Orang bergosip. Mereka suka mengada-ada dan menjungkirbalikkannya sampai kisah liar itu sesuai keinginan mereka sendiri.” Ia menyipitkan mata ke arah Yoona. “Tentu saja, biasanya spekulasi itu berdasar.”

“Yang pasti spekulasi tadi sama sekali tidak berdasar.”

“Jimin bilang kau gonta-ganti pacar seperti memakai tisu.”

“Jimin suka melebih-lebihkan,”

“Apakah kau tidak bertanggung jawab atas deretan hati yang patah?”

“Aku memang sempat beberapa kali berkencan”

“Anak laki-laki suka bertukar cerita.”

“Maksudnya?”

“Menurut Jimin, tidak ada yang pernah mengaku… kau tahu. Kau tidak pernah…”

Yoona benar-benar marah “Menyelesaikannya?”

Taehyung menyunggingkan senyum singkat, namun menawan.

“Istilah yang tidak lazim, tapi itu bisa menjelaskan segalanya, ya. Dari apa yang kudengar, kau meninggalkan para pemuda Latham Green resah dan gelisah. Kau hanya mau bertindak sejauh itu, lalu mengatup rapat.”
Ia tertawa mendengar pilihan katanya sendiri, “Maksudku tidak secara harfiah.”

“Memuakkan.” Meskipun panas, tubuh Yoona gemetar.

“Beberapa julukan buruk ditujukan pada para gadis yang suka menggoda.” Mata biru Taehyung bergerak menelusuri tubuh Yoona.

“Secara pribadi aku tidak percaya yang dikatakan orang-orang tentang dirimu. Tapi kau harus mengakui mereka punya dasar yang kuat. Kau masih lajang. Kau tidak punya pacar.”

“Aku punya banyak pacar!”

“Berapa banyak?”

Yoona mematung ketika kesadaran merasukinya. Ia melotot marah pada Taehyung dari bawah alisnya lalu perlahan-lahan menengadah. Mata keemasannya berkilat-kilat.

“Kau mengarang semua ini, kan? Ya, kan?” Ia langsung bangkit berdiri, “Dasar bajingan.” Ia berniat menendang tulang kering Taehyung, tapi laki-laki itu berhasil menghindar. “Pergi kau dari dermagaku!”

Taehyung melompat berdiri, berusaha meraih Yoona namun gagal. “Tenang dulu.”

“Tenang? Tenang!” Yoona begitu marah, suaranya sampai melengking. “Aku akan membunuhmu. Aku punya senapan di dalam,” ancamnya, menunjuk ke arah kabin. “Aku akan menembakmu kalau kau tidak segera naik ke perahu itu—”

“Aku hanya ingin tahu dengan siapa aku harus bersaing.”

“Kau tidak punya saingan, karena kau bahkan tidak menjadi peserta.”

“Dari sudut pandangku sepertinya kau menyulitkanku, membuatku berputar dalam lingkaran setan.”

“Katakan itu pada setan waktu kau menemuinya.”

“Ayolah, Yoona, itu tidak baik, bukan? Aku tidak mengada-ada semuanya. Gosip tentang bayi, aborsi, dan yang lainnya memang ada.”

Taehyung merundukkan kepalanya sampai bibirnya bergerak hanya beberapa jengkal di atas bibir Yoona.

“Aku hanya menambahkan bagian tentang dirimu frigid untuk melihat reaksimu.” Sambil tersenyum, ia meletakkan kedua tangannya di bahu Yoona. “Kau mengenyahkan teori yang satu itu sampai ke bulan. Kau sepanas kembang api.”

“Kau takkan pernah tahu, Mr. Kim.”

“Jangan terlalu yakin. Aku ingin memenangkan taruhan itu. Aku suka minum wiski saat malam, terutama kalau campurannya pas sampai warnanya sewarna matamu.”

“Lepaskan aku.”

“Aku suka merasakan cairan itu turun.” Ia menarik Yoona lebih dekat. “Begitu licin dan hangat. Aku suka merasakannya tiba di perutku dan menyebarkan panasnya.”

Lutut Yoona tidak menjamin bisa menopang tubuhnya andaikata Taehyung melepaskannya. Sebaliknya, lututnya mengancam untuk kehilangan keseimbangan sewaktu-waktu. Panca indranya mengabur. Memang benar dulu banyak pemuda yang mengajaknya makan malam dan nonton bioskop, beberapa akan diundangnya untuk minum dan bercumbu ringan.

Tapi seumur hidup tidak pernah ia bertemu pria yang bisa membuatnya jungkir-balik hanya karena ucapan dan cara pria itu mengucapkannya dengan begitu menjurus. Para pria yang pernah mengajaknya kencan tidak istimewa dan mudah dilupakan.

Begitu mengucapkan selamat malam pada teman kencannya, Yoona jarang ingat apa yang dikenakan pria itu atau seperti apa wangi cologne-nya.

Namun kali ini berbeda.

Yoona suka wangi itu.

***

Yoona's Return - Taehyung Yoona VersionWhere stories live. Discover now