Part 8 - Apartment 1769

172 31 0
                                    

Mobil SUV putih itu kembali melaju di jalan raya yang sepi tanpa ada kendaraan lain yang melintas. Lucien menambahkan kecepatan mobilnya hingga 80 km/jam, sebisa mungkin mereka menghindar dari zombi yang mencoba untuk menyerang mereka. Tidak hanya zombi dewasa, bahkan ada yang masih anak-anak. Archibald memandang miris zombi di jalanan yang wujud sebelumnya adalah manusia yang sama seperti mereka. Serangan dari laboratorium pasti sangat mengerikan dan brutal, untung saja Lucien berhasil kabur saat itu, jika tidak, pria berkacamata itu pasti sudah menjadi salah satu dari 'mereka'.

Ia tiba-tiba teringat tunangannya, Helga Hazelwind, seorang wanita berusia 24 tahun yang masih meneruskan studi astronominya di salah satu universitas terbaik di Amerika, tepatnya di Harvard. Kebetulan saat ini sedang libur musim panas, sehingga Helga memilih untuk pulang ke Albuquerque. Archibald mencoba untuk membuang jauh-jauh ingatan buruk saat mengetahui Helga telah menjadi salah satu bagian dari kumpulan zombi yang kini berpencar di pusat kota. Hatinya begitu hancur dan dadanya sesak saat itu. Salah satu orang yang paling dicintainya tewas dengan cara yang mengenaskan lalu bermutasi menjadi mayat hidup.

Archibald mencoba untuk rileks dan mengatur napasnya. Ia merogoh satu batang rokok dari saku bajunya kemudian mencari pemantiknya. Lucien seketika menoleh saat Archibald berniat untuk merokok.

"Bung, t-tidak boleh merokok di m-mobil."ucap Lucien sedikit terbata. Archibald pun menoleh tanpa berucap sepatah kata pun. Lucien tidak berani menoleh karena saat ini ia diberi tatapan intimidasi oleh sang prajurit mengerikan itu.

"...kalau jendelanya tidak dibuka."ciutnya. Lucien kelihatan sekali tertekannya oleh kehadiran Archibald yang sejak beberapa jam yang lalu selalu membuat jantungnya berpacu cepat. Asterin dan Maggie diam menahan tawa melihat kelakuan kedua orang itu.

"Pengecut."gumam Archibald sembari menekan tombol untuk menurunkan kaca mobil. Ia lalu menyalakan rokoknya, mengisapnya lalu mengembuskan asap rokok ke luar mobil.

"Apa kalian tahu alasanku membunuh semua cecunguk tadi?"Achibald menoleh ke samping, lalu ke belakang, di mana Asterin dan Maggie kini tertarik dengan pertanyaan Archibald.

"Kenapa?"Maggie mencoba memberanikan diri untuk mengetahui alasannya.

Archibald kembali mengisap rokoknya lalu ia embuskan asapnya lebih banyak dari sebelumnya. Tatapan sayu terlihat di jelas di kedua matanya. Raut wajahnya juga terlihat murung namun ia berusaha tersenyum walau sangat tipis. Ia pun mencari posisi nyaman untuk duduknya sebelum menjelaskan apa yang ia pendam sebelumnya.

"Istriku, maksudku tunanganku, menjadi salah satu dari 'mereka'."

Jawaban yang singkat itu membuat tiga sekawan itu langsung terdiam. Perasaan sedih sekaligus sesak juga ikut mereka rasakan. Maggie lantas memainkan jari-jari tangannya untuk menenangkan perasaannya, begitu juga dengan Asterin yang memainkan ibu jarinya dengan kedua tangan yang terkepal di atas paha. Suasana hening melingkupi mereka, memberikan kesan sendu dan pilu. Pasti berat bagi Archibald untuk mengikhlaskan tunangannya yang sudah bermutasi menjadi sosok mayat hidup.

"Seharusnya kami menikah minggu depan, mengambil cuti selama beberapa hari, lalu pergi berbulan madu ke Hawaii."nada bicaranya datar namun menyimpan kesedihan yang mendalam. Pria itu berusaha sekuat mungkin untuk terlihat biasa saja di depan mereka bertiga. Ia kembali mengisap rokoknya lagi lalu mengembuskannya, kemudian membuang puntung rokok tersebut keluar mobil.

"Kami turut berduka."Maggie mewakili kedua temannya untuk berbelasungkawa, diikuti oleh Lucien dan Asterin yang mengangguk.

"Terima kasih. Aku juga berterima kasih kepada kau, pria-idaman-semua-wanita, Lucien Jayden, berkat kau aku tidak mati dengan cepat hahaha."Archibald menepuk-nepuk punggung Lucien. Pria berkacamata itu hanya bisa terkekeh pelan dengan ekspresi ketakutan.

The Meliorism: Land of Survivor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang