Part 1 - The Beginning

871 73 1
                                    

09.04 AM

Matahari pagi menyambut para pejalan kaki yang hilir-mudik di sepanjang trotoar di pusat kota Albuquerque, serta para pengendara yang melintas di sepanjang jalanan yang mulai memadat. Prakiraan cuaca kali ini adalah tidak akan ada hujan dalam beberapa hari ke depan dan kemungkinan besar suhu siang harinya mencapai 31 derajat celsius. Musim panas masih berlanjut hingga beberapa minggu ke depan, namun, tidak menyurutkan semangat seorang pemuda berusia 22 tahun yang kini terjebak macet di pusat kota yang mewarisi budaya Pueblo dan Hispanik itu.

Lucien Jayden, seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir di salah satu universitas ternama di Albuquerque, mencoba untuk bersabar di tengah kebisingan jalan raya yang dipadati oleh ratusan kendaraan beroda. Setiap beberapa menit, pria dengan rambut ikal itu melirik arloji di pergelangan kirinya dengan perasaan gundah. Ia sudah telat satu jam di minggu keduanya dalam mengikuti kegiatan magang di Laboratorium Riset Virologi WHO (World Health Organization). Kalau saja sepupu perempuannya tidak datang ke rumah untuk sarapan dan mengajak berbincang, ia tidak mungkin selambat ini menuju lab.

"Maafkan aku Profesor Edgar, aku pastikan hanya hari ini aku terlambat ke lab." ucapnya di telepon yang tersambung ke salah satu pembimbingnya selama magang.

"Tidak apa-apa, terima kasih sudah menginformasikan." ucap seorang pria berusia hampir separuh abad itu, seorang profesor yang menjadi pembimbing Lucien dalam kegiatan magang yang dilaksanakan kurang lebih empat bulan ke depan.

Lucien mengucap terima kasih lalu memutus sambungan telepon. Ia kembali menancap gas mobil SUV putihnya saat jalanan perlahan terbebas dari kemacetan. Sembari berkendara dengan kecepatan 60 km/jam, ia menyalakan radio mobilnya dan memilih saluran yang menyiarkan lagu-lagu pilihan, lalu bersenandung mengikuti irama musik.

Setibanya di lahan parkir, ia langsung bergegas turun dari mobil dan masuk ke lobi terlebih dahulu untuk melakukan fingerprint, membuktikan bahwa dirinya hadir hari ini. Lucien menyapa resepsionis serta penjaga yang sudah ia kenal baik selama magang, disambut dengan sapaan balik serta senyum yang terukir di bibir mereka, memotivasi pemuda itu untuk menjalankan kegiatan magang lebih semangat.

Ruang laboratorium tempatnya magang berada di lantai dua gedung sayap kiri, sebuah gedung khusus laboratorium riset virologi yang terpisah dari gedung utama. Suatu kebanggaan bagi Lucien, karena hanya ia satu-satunya mahasiswa yang berhasil mengambil magang di tempat yang bergengsi dan sangat diidam-idamkan teman-teman sekampusnya.

Sesampainya di lorong yang akan membawanya ke ruang laboratorium, bulu kuduknya seketika berdiri dan ia merasakan ketegangan yang tidak biasa dari sekelilingnya. Biasanya pagi hari begini ada banyak pekerja lab yang hilir mudik dengan membawa peralatan dan juga sampel-sampel yang akan dilakukan uji coba, namun tidak dengan pagi ini, auranya sangat berbeda.

Karena merasa aneh dengan keadaan lorong yang begitu lengang, ia pun berjalan pelan dan sesekali menoleh ke belakang untuk berjaga-jaga. Ia mencoba untuk menghubungi Profesor Edgar, namun hanya dijawab oleh operator. Perasaannya kian memburuk saat melihat pintu ruangan laboratorium di depan sana terbuka sedikit tanpa adanya seseorang yang mengawasi. Biasanya akan ada satu atau dua penjaga di sana sesuai protokol keamanan.

Langkah kakinya semakin berat saat Lucien mulai memasuki ruangannya yang terlihat berantakan layaknya seperti terjadi kerusuhan. Alat-alat medis yang tergeletak di mana-mana serta beberapa cairan sampel yang tersebar di lantai, membuat Lucien tidak dapat berpikir logis. Apalagi setelah ia menoleh ke sebuah meja tidak jauh dari situ, terdapat genangan darah yang terlihat masih baru dengan beberapa peralatan medis yang juga ikut ternodai.

"Apa yang terjadi di sini.."gumamnya takut saat melihat beberapa bercak tangan penuh darah yang terdapat di dinding. Pikirannya mulai bercabang ke hal-hal yang di luar akal sehat. Selama magang, ia hanya meneliti virus asing dari parasit yang di dapat di daratan Afrika, sehingga ia sangat terkejut saat mendapati seisi ruang laboratoriumnya tiba-tiba terlihat mengerikan seperti ini.

Lucien mencoba memberanikan diri untuk melihat sekeliling, mencari siapa saja yang ada di ruangan untuk ditanyai. Sebenarnya kakinya begitu berat untuk terus maju, namun rasa penasaran benar-benar menyelimuti dirinya. Ia bahkan sama sekali tidak mendengar suara apa pun kecuali lampu-lampu yang mengalami korsleting akibat kejadian yang belum ia ketahui.

"Profesor?!"Lucien mendadak berlari saat seorang pria berumur senja yang barusan ia coba hubungi, duduk lemas di sudut ruangan dengan jas putih yang berlumuran darah. Profesor Edgar merintih kesakitan dengan tangannya yang berusaha menghentikan pendarahan karena luka di perut.

"Apa yang terjadi? Apa ada perampok atau semacamnya?"tanya Lucien penuh ketakutan, ia membantu Edgar menghentikan pendarahan pada perutnya. Pria itu kembali merintih dengan suaranya yang serak.

"Lebih buruk dari itu.."tangannya yang ringkih dan gemetar menunjuk ke sebuah pintu di seberang ruangan. Di sana terdapat lebih banyak bercak darah dan terdengar suara raungan mengerikan di dalamnya. Lucien kesulitan menelan ludahnya, ia merasakan sensasi yang mencekam serta ketakutan luar biasa di dalam dirinya.

"Lebih baik.. kau cepat pergi.. dari sini..."ucap Profesor Edgar terbata-bata. Napasnya kian memendek karena tidak dapat menahan lukanya lebih lama. "Bawa sekiranya barang.. yang kau anggap.. penting.."

Sorot matanya kian meredup hingga akhirnya kepala dan juga tangannya terkulai lemas dan jatuh ke lantai, mengakhiri masa hidupnya dengan tragis dan tanpa alasan yang belum diketahui olehnya.

Pemuda itu hanya bisa berlutut di hadapan pendampingnya selama magang, penghormatan terakhir karena telah mengajarinya banyak hal di minggu pertama menjalankan kegiatan magang.

Belum sempat ia bangkit dari situ, ia mendengar raungan lebih keras dan lebih brutal dari arah pintu gudang yang ditunjuk oleh Profesor Edgar. Suara gedoran dan bahkan cakaran terdengar begitu menyakiti pendengaran. Lucien tidak mau mati konyol. Dengan jantung yang memompa dua kali lipat serta keringat yang membasahi sekujur tubuh, ia segera mengambil beberapa peralatan medis dan obat-obatan yang terdapat di sekitarnya. Masa bodoh dengan kegiatan magang, kali ini nyawanya lebih penting dari nilai A di kampusnya.

Baru saja Lucien melangkahkan kaki keluar laboratorium, ia mulai mendengar ada banyak langkah kaki yang mengikutinya dari belakang. Sekilas ia mengintip ke belakang untuk melihat makhluk apa yang dimaksud oleh Profesor Edgar tadi. Kedua matanya yang terbingkai kacamata pun membulat lebar dan pupilnya membesar saat ia melihat lusinan pekerja laboratorium yang ia kenal, berusaha berlari mengejar Lucien dengan wujud yang terlihat mengerikan dan penuh darah.

Dengan cekatan, Lucien pun mengunci ruang laboratorium dari luar dengan penuh kepanikan. Sekujur tubuhnya gemetar melihat sosok rekan laboratoriumnya selama seminggu melaksanakan magang ini, berubah menjadi makhluk mengerikan dengan darah yang mengering di seluruh tubuh mereka dari atas hingga bawah.

Lucien segera berlari meninggalkan laboratorium dengan barang yang ia bawa dengan ranselnya. Ia kemudian menghubungi beberapa orang untuk melaporkan kejadian mengerikan barusan, sebuah peristiwa yang kemungkinan besar akan membuat hidupnya berubah 180 derajat.

The Meliorism: Land of Survivor [END]Where stories live. Discover now