"Silakan, Mas." Bu Nirma menjawab dengan raut wajahnya yang tampak ragu sesaat.

Kami berdua pun mengikuti Bu Nirma dari belakang. Saat baru saja memasuki pintu rumah berwarna putih itu, aku langsung terkejut seketika. Sebab, aku disambut oleh seorang pria yang memelototiku dengan mata yang merah dan tajam. Anehnya dia sedang berdiri kaku di samping sofa dengan ekspresi datar, bagaikan sebuah patung.

Saat aku menoleh, ternyata Putra dan Bu Nirma juga tampak terkejut dengan apa yang sedang mereka pandang.

"Ini suami saya, Mas. Mohon dimaklumi kondisinya," ucap Bu Nirma dengan suara pelan.

Aku dan Putra mengangguk, lalu Putra perlahan mengulurkan tangannya ke arah suami Bu Nirma. Tetapi suami Bu Nirma hanya diam dan tak merespon Putra. Dia hanya memandangiku dengan tatapan matanya yang membelalak.

Melihat suasana yang terasa tegang dan tidak nyaman, Bu Nirma pun memapah suaminya masuk ke dalam kamar. Tetapi sepanjang dia berjalan menuju kamar, anehnya suami Bu Nirma masih saja tak melepaskan pandangan matanya dariku.

"Dia kenapa ngeliatin gua mulu, Put?" tanyaku heran.

"Gua juga gak tau, tapi dari apa yang gw lihat barusan, sukma suami Bu Nirma lagi ga ada di situ," jawab Putra.

"Ha? Maksudnya gimana, Put?" tanyaku bingung.

"Sukmanya hilang, ibaratnya dia cuma sisa cangkangnya doang. Makanya sekarang dia jadi diam mulu," ucap Putra pelan.

Aku menjadi semakin pusing, sebab bukan hanya anak Bu Nirma saja yang hilang, tetapi sukma suaminya juga. Rasanya, masalah dan informasi yang tersembunyi mulai muncul ke permukaan satu persatu.

Sesaat kemudian, setelah Bu Nirma selesai mengantarkan suaminya ke dalam kamar, dia langsung kembali menemui kami dan memberikan sebuah foto yang berisikan dua anak kecil yang tampaknya berumur kisaran tiga sampai empat tahun.

"Sekarang harus gimana, Mas?" tanya Bu Nirma.

Putra tak menjawab pertanyaan Bu Nirma, dia hanya diam sambil memandangi foto itu dengan seksama. Hingga tak lama kemudian, perlahan dia mulai memejamkan matanya dan mengatur pernafasannya.

Menit demi menit telah berlalu, hingga tak terasa hampir setengah jam Putra masih saja memejamkan matanya. Bu Nirma pun semakin lama semakin terlihat panik. Hingga akhirnya Bu Nirma pun meluncurkan pertanyaan kepadaku.

"Kira-kira ini masih lama lagi ya, mas? Apa Mas Putranya aman?" tanya Bu Nirma pelan.

"Saya kurang tau, Bu. Sabar dulu ya, Bu. Mas Putranya lagi berusaha," jawabku perlahan.

Bu Nirma pun mengangguk dan hanya bisa menunggu saja. Hingga tak lama kemudian, Putra akhirnya membuka kedua matanya lalu berbicara.

"Dari penglihatan saya, jejak anak Ibu ada di suatu rumah besar dengan taman luas. Posisinya gak jauh dari sini. Ciri-ciri dari rumah itu, dinding luarnya warna putih, atapnya biru tua, dan yang paling mencolok, ada pohon besar bercabang banyak di tamannya. Yang saya perhatikan, lingkungan rumah itu ada di komplek yang sepi, karena saya lihat di sekitarnya banyak rumah besar kosong yang jarang di tempati manusia," jelas Putra panjang lebar.

"Kira-kira Ibu pernah ngeliat ciri-ciri rumah kayak gitu gak?" tanya Putra.

Bu Nirma mengernyitkan dahinya seraya diam berpikir.

"Hmmm ... di dekat pohonnya ada kolam ya, Mas?" tanya Bu Nirma.

"Iya Bu, tapi—" Putra tampak ragu untuk melanjutkan perkataannya.

"Tapi kenapa, Mas?"

"Sebenarnya dari jauh, saya sempat ngelihat ada anak kecil yang mengapung di kolam itu. Tapi saya ga tahu pasti, itu anak ibu atau bukan," ucap Putra.

Awakening - Sixth SenseTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon