Gue Capek. (33)

73 17 4
                                    

Don't forget to pay for my work by tap the star icon

Let's mutual if you want, ask me

Berikan umpan balik jika Anda menemukan kesalahan ketik. Komentari bagian yang menurut Anda menarik.

HAPPY READING FIGHTER!🖤

***

Be a Lie

Lying, isn't a crime
Lying to be happy, is one of an effort to be happy
Not because you're wishing a compliment
But, that's because you just want to do it for yourself
You just want to feel what happy is.

***

“Ma, Asha berangkat dulu.” Cewek itu berusaha menggendong tasnya dengan susah payah. Sementara yang dipamiti hanya mengangguk seraya bergumam pelan.

“Iya, hati-hati.”

“Sha, gue anterin ya?” Sosok lain muncul dari lantai atas, ia sudah siap dengan seragamnya yang nampak kece melekat di tubuhnya.

“Enggak usah. Gue duluan.” Asha tampak acuh, ia sering mendapatan tawaran seperti itu. Namun seberapa sering dia mendapatkannya, ia pasti akan menolaknya.

“Sha!” Cowok itu mulai berlari mengejar Asha yang berjalan dengan terburu-buru meski kakinya sakit. Cewek itu memang bukan cewek biasa. Ia bahkan terus mempercepat langkahnya sebelum ia berhasil ditangkap oleh kakaknya. Ia terlalu malas untuk membayangkan kehebohan seantero sekolahnya jika ia benar-benar berangkat sekolah dengan kakaknya itu.

Ia berhenti di depan gerbang rumahnya, menjadi kebingungan kenapa dia sehebat ini untuk melarikan diri meski keadaannya tak begitu mendukung. Ia memikirkan cara untuk ia berangkat sekolah. Bagaimana tidak bingung jika satu-satunya jalan adalah naik angkot tetapi dia harus berjalan menuju jalan raya sepanjang dua kilometer? Oke, kali ini dia benar-benar menjadi gila.

Namun kegilaannya tak berhenti sampai di situ saja. Beberapa detik kemudian sebelum mobil Sean mulai terlihat menuju luar, sebuah motor sport berwarna merah datang tepat di hadapannya. Cowok dengan helm full face muncul begitu saja megejutkan dirinya.

“Lo lagi melarikan diri? Buruan naik!” ucap cowok itu dengan watadosnya.

Sementara Asha hanya terus menatap cowok itu tanpa mengeluarkan sepatah kata. "Buruan naik!" suruh Bara seraya menggerakkan kepalanya sebagai isyarat. Pada awalnya Asha paham, namun semakin berpikir, cewek itu semakin bingung. Gimana cara dia naiknya?

"Lo lama banget, sih?" Dia kesal, sementara di dalam hati Asha meledak. Ya lebih kesel Asha lah ketimbang Bara.

"Ya gue gimana naiknya?!" suaranya meninggi.

Bara menoleh tampak sedikit terkejut, menyadari apa kesalahannya. "Hum, terus gimana? Keburu disamperin abang lo, tuh!" Tepat setelah itu, Asha panik. Ia tidak tahu bagaimana dia bisa menghindari kakaknya itu.

"Bar bantuin dong! Gimana ...?" Asha semakin cemas.

Saat itu juga, Bara langsung mengulurkan tangannya lalu menyangga motor sekuat tenaga. "Gue pegangin, gue sangga. Enggak usah takut." Bara menatap cewek itu dengan penuh keyakinan. Sementara di sisi lain Asha ragu. Namun tak ada pilihan lain daripada ia harus berbicara lagi dengan Sean. Ia harus memaksakan tubuhnya yang penuh luka itu untuk menaiki motor Bara.

Begitu Asha berada di jok motor Bara dengan aman, Bara langsung menancap gas dan pergi meninggalkan Sean yang baru saja turun dari mobilnya untuk menghampiri Asha. Nasib buruk lagi-lagi menimpa Sean. Bumi memang tak pernah mengizinkannya bertemu Asha.

ChasséWhere stories live. Discover now