For you

979 63 5
                                    

Jangan lupa teken bintangnya 👀
.

Yeaayyy aku update hehe.

Masih sempat gak ya, nemenin malam
Minggu kalian wkwk.

Selamat membaca.

Warning: typo bertebaran maafkan 😭.

Part sebelumnya di kill mesage:

Shit. Umpat Cici dalam hati.

____________________

Kemudian menaruh kembali Hpnya di kantung tanpa membalas chat dari Grace. Masih terbatuk-terbatuk, Cici Segera mengambil segelas air yang disodorkan kearahnya dan meminumnya.

Rasa pedis dilehernya perlahan-lahan hilang diikuti pertanyaan khawatir Ghalil, "kamu kenapa?" Serta tangan yang terulur menyurai rambut kecil Cici yang jatuh akibat terbatuk tadi.

Saat batuknya mereda, barulah Cici menjawab, "aku tidak apa-apa dan makasih airnya." Dibarengi dengan kepala yang terangkat. "Jangan khawatir-," Cici tak melanjutkan sebab terkesiap melihat wajah Ghalil berjarak beberapa Cm dari mukanya.

Tangan Ghalil berpindah mengelus lembut pipi Cici. "Justru saya khawatir kalau keadaan kamu begini Cisandra." Kata Ghalil, raut wajahnya nampak Khawatir.

Cici kemudian menunduk tak tahan melihat wajah Ghalil yang benar-benar mengkhawatirkannya. Alis Ghalil bertaut, heran dengan sikap Cici.

Cici menggigit bibirnya. Berdebar, mulai meragukan diri untuk menolak Ghalil, "Ghalil, mulai sekarang hentikan sikap tulus kamu, karena aku bukan perempuan yang baik." Ucap Cici lirih.

Sungguh ia tak sanggup, soal Ghalil. Berencana untuk menolak lelaki itu amat sulit baginya. Sikap tulus dan lembut lelaki itu menjadikan ia bimbang. Ini bukan cinta, ia berdebar karena juga takut melihat wajah lelaki itu kecewa.

"Maksud kamu?" Bingung Ghalil.

Cici sekilas menatap Ghalil. Kalau bukan sekarang ia mengatakannya, kapan lagi? Menunggu besok, ia tak yakin akan menolak lelaki itu.

Sekilat mungkin Cici bangkit dari duduknya, menghasilkan bunyi berdenyit, "Ghalil maaf," masih menunduk dengan tangan yang masing-masing meremas diri. "Aku gak bisa terima pernyataan kamu." Tanpa melihat wajah Ghalil ia berlalu meninggalkan lelaki itu dan berlari menuju kliniknya.

Ia tak sanggup menatap mata teduh lelaki itu dan meninggalkan Ghalil adalah pilihan terbaiknya.

Setelah sampai di koridor kliniknya, menghiraukan sapaan beberapa anak koas dan para perawat disekitar yang menatapnya bingung. Menutup pelan pintu, Cici melesat masuk ke dalam kliniknya.

Terdiam, menatap kosong meja kerjan. Ia kalut dalam pikiran. Sekarang apa? Mengucapkan hal jahat kepada lelaki itu, tentu ia tak tahu apa yang dipikiran Ghalil saat ini mengenai dirinya. Jelas ia di cap sebagai teman yang buruk.

Helaan napas keluar dari mulut. Perlahan ia langkahkan kaki dan duduk pada sofa. Dadanya terasa berdenyut ngilu. Mungkin inilah yang terbaik, tapi selepas ini ia tak sanggup lagi berhadapan dengan Ghalil nantinya.

Suara ketukan pintu mengagetkannya. Dari arah luar perawat berkata, "dok saya boleh masuk?"

Punggungnya menegak, "ya, silahkan."

Setelah perawat masuk, Cici berkata, "kenapa?"

"Ini dok," kata perawat maju mendekati Cici, memberi selembar map kumpulan kertas. Cici segera menerima map merah tersebut dan membaca isinya sekilas. "Kata Prof Jaja, kasus ini harap segera diselesaikan dok." Ucap perawat yang dijawab oleh anggukan Cici.

Baby with meWhere stories live. Discover now