"Appa..." Yein memeluk lengan lelaki paruh baya yang notabene adalah ayahnya. Wanita itu memeluk lengannya seraya menenggelamkan wajah di sana dan terisak pelan. Sementara, wanita paruh baya yang melahirkannya tengah tertidur lelap di atas blankar dengan beberapa alat medis yang menempel di tubuhnya.
"Yein-a, kau harus percaya bahwa Eomma akan kuat," lirih Sang Ayah menenangkan.
Yein menggeleng lemah, sambil masih terisak. "Appa, aku takut," lirih Yein kembali. "Bukankah Eomma sudah sembuh beberapa tahun lalu? Kenapa bisa kambuh lagi?"
"Appa juga tidak tahu, Yein-a. Mendadak Eomma merasakan sakit perut lagi. Appa yakin, ini bukan kali pertama dia sakit, tapi dia tak pernah mengatakan apapun pada Appa."
Yein menjauhkan kepalanya dari lengan Sang Ayah, kemudian berdecak pelan menatap ibunya. "Ck. Eomma memang bodoh," ucapnya.
"Yein-a!"
"Itu benar, Appa. Eomma bodoh, selalu menyembunyikan sakitnya sendirian," lanjut Yein. Wanita hamil itu terisak lagi. "Kalau sakitnya parah, dan Appa tidak ada di rumah, bagaimana? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padanya!"
"Yein-a!" Yein mendongak, tatkala suara yang ia kenal terdengar.
"Kook!" pekik Yein tertahan. Wanita itu berlari kecil, menghambur ke pelukan Jungkook secepatnya. "Eomma, Kook!" isaknya, menyeka air mata di pipi dengan kemeja merah Jungkook.
"Iya iya, In. Tenang, ya. Eomma pasti tidak apa-apa. Jangan khawatir," bisik Jungkook, mengelus lembut kepala Yein.
"Aku kesal sekali padanya, Kook!" Yein menatap Jungkook dengan mata basah dan hidung yang merah. Rambut depan wanita itu sedikit berantakan karena pelukannya barusan.
"Hei, jangan begitu," gumam Jungkook, memegang bahu Yein lembut. "Do'akan saja supaya Eomma cepat sembuh, ya? Jangan menangis terus." Dengan sangat lembut, ibu jari Jungkook menghapus bulir-bulir air mata yang mengalir di pipi Yein yang mulai membengkak.
"Tapi Eomma akan sembuh, kan?" bisik Yein. "Aku akan memarahinya nanti jika ia sadar."
Jungkook tersenyum kecil, menatap Yein yang menggemaskan meski wajahnya jelek saat menangis. "Eomma akan sembuh," balas Jungkook, lantas meraih Yein ke pelukannya.
"Jungkook, sebaiknya kau bawa Yein keluar dari sini. Sepertinya Yein juga belum makan," gumam Ayah Yein, menatap Jungkook dengan senyuman tipis yang menyembunyikan kegundahannya.
"Appa, apa kau mengusirku?" Yein menoleh dan memasang wajah sebal.
Ayahnya terkekeh kecil, berjalan pelan menghampiri puteri semata wayangnya yang cantik. "Appa hanya tidak ingin puteri dan calon cucu Appa kelelahan. Pergilah dulu untuk makan, hm?" Sang Ayah mengusap kepala Yein dengan senyuman hangat.
Yein tersenyum meski air matanya jatuh. "Appa..." lirih Yein, memeluk tubuh lelaki paruh baya itu dengan erat. "Jaga Eomma untukku, hm?" bisik Yein.
Yein lupa, kapan terakhir kali ia memeluk sang ayah. Mungkin sebelum ia menikah? Dan itu terasa sangat lama. Yein juga lupa, kapan terakhir kali ia berdebat dengan ibunya. Apakah ketika ia masih anak SMA, atau kuliah? Atau mungkin kemarin, sebelum ia resmi menjadi istri Jungkook? Yein lupa, kapan ibunya memarahinya dan Yein berlari untuk mengadu pada ayah. Mungkin itu beberapa tahun yang lalu, tetapi Yein merasa itu masih kemarin. Dan anehnya, Yein rindu itu semua.
Yein mengembangkan senyum. Dalam dekapan ayahnya, Yein berdo'a, semoga Tuhan membiarkan kedua orang tuanya hidup lebih lama untuk menghabiskan masa tua dengan cucu-cucu mereka. Yein berharap, dapat tertawa lebih lama dengan appa dan eomma-nya. Ya, hanya itu, sesederhana itu. Tapi, tidak pernah ada yang tahu bagaimana Tuhan menuliskan takdir.
***
"Kenapa tidak memakai mantel, hm? Kau jadi kedinginan," ujar Jungkook di sisi Yein saat mereka keluar dari rumah sakit.
"Aku panik, Kook, jadi aku lupa," balas Yein.
Jungkook menggeleng pelan, mengacak rambut Yein. "Ke sini," gumam lelaki itu, memeluk pundak Yein sambil berjalan beriringan. "Masih dingin?" tanya Jungkook.
Yein tersenyum. "Masih," balasnya. "Tapi tidak apa, dipeluk olehmu hatiku yang jadi hangat." Yein tersipu sendiri saat mengucapkannya, membuat Jungkook gemas.
"Dasar. Hentikan dulu tangismu, baru menggombal," balas Jungkook jenaka.
Yein dan Jungkook masuk ke dalam mobil Jungkook, mencari tempat makan yang sesuai keinginan Yein.
"Makan yang banyak, dan berhenti menangis jika tidak ingin rasa kimchi milikmu berubah asin," pesan Jungkook begitu pesanan sampai di meja.
"Kook," protes Yein.
"Yein," balas Jungkook dengan nada sama.
Yein akhirnya hanya mendesah pelan dan memakan kimchi di hadapannya setelah mengusap sisa-sisa air matanya. Tapi tetap saja, tak berselang lama, air mata itu kembali mengalir tanpa Yein minta.
"Kook, apa Eomma akan baik-baik saja?" Yein menatap Jungkook dengan mata yang berkaca-kaca dan mulut yang penuh dengan kimchi.
"Kau sudah menanyakannya untuk ke sekian kali, Yein," balas Jungkook dengan gelengan pelannya.
Yein mengedipkan mata, membuat bulir-bulir bening di pelupuk matanya terjatuh. "Aku lupa," bisik Yein, lantas kembali melanjutkan makan.
Tak ada yang Jungkook ucapkan, selain hanya menatap Yein dengan tatapan teduhnya. Sejujurnya, Jungkook tidak menyukai tangis Yein. Hal itu membuatnya sedih. Tapi akhir-akhir ini, wanita tersebut memang sangat mudah menangis. Mungkin efek dari kehamilannya atau...
"Jeon?" Jungkook menghentikan pemikirannya, lalu menatap seseorang yang baru saja memanggilnya.
"Soehyun?"
"Kalian di sini? Kebetulan sekali," gumam perempuan itu.
Yein yang tengah melahap makanannya, sontak saja mendongak dengan kesal, menatap perempuan itu.
"Iya, kau sendirian?" tanya Jungkook, sesekali menatap Yein dengan ringisannya.
"Aku sendiri," balas Soehyun. "Apa aku boleh gabung?" ujarnya, hendak duduk sebelum akhirnya suara Yein terdengar.
"Tidak. Bukankah masih banyak meja lain di restauran ini?" tanya Yein sarkas.
Soehyun mengangkat sebelah alisnya, menatap sekeliling restauran. "Iya, tapi semua meja penuh," balasnya.
Jungkook tersenyum tak enak pada Soehyun, lalu menatap Yein. "Biarkan saja Soehyun gabung, ya?" tanya Jungkook pelan. "Lagi pula, sebentar lagi kita selesai, kan?"
Yein beralih menatap Jungkook dengan lurus. Kemudian kembali fokus pada makanannya, sangat tidak peduli apakah manusia bernama Soehyun itu duduk atau tidak di sana. Entahlah, Yein muak pada wanita itu.
***
"Jadi kau akan menetap di Korea lebih lama?"
"Ya, begitulah. Kau sudah dapat undangan untuk reuni?"
"Reuni? Aku tidak tahu."
"Ya ampun. Acaranya minggu depan, Kook. Kukira kau sudah dapat undangannya."
"Belum, aku belum."
"Padahal, ada rencana kita manggung di acara itu, Kook. Kau akan ikut gabung, kan?"
"Entahlah, sudah lama aku tidak bernyanyi atau pun bermain gitar."
Yein muak. Sangat muak. Ia ada di antara dua orang yang terlihat akrab satu sama lain, sedangkan ia dianggap tak kasat mata. Apakah mereka sedang kencan, sedangkan Yein adalah obat nyamuk?
Kesal, Yein menyeruput jus alpukat di depannya, lalu menyimpan gelas jus tersebut dengan kasar di meja, sehingga menimbulkan suara debuman yang keras.
"Aku sudah selesai makan, Kook. Bisakah kita pulang?" tanya Yein datar.
"Ah, kau sudah selesai?" Jungkook mengerjap, seolah baru menyadari bahwa Yein ada. "Baiklah, ayo kita..."
"Cepatlah!" potong Yein galak.
Jungkook mendesah pelan, lalu menatap Soehyun dengan sesal. "Maaf, aku harus pergi terlebih dahulu. Nanti..."
"Ayok!" Tanpa ba-bi-bu, Yein menarik lengan Jungkook sekuat tenaga. Tak peduli bahwa saat ini ia jadi sorotan. Ia muak dengan wanita itu, dengan tatapannya yang selalu terpaku pada Jungkook, dengan senyumnya yang menyiratkan godaan.
"Yein! Berhentilah!" seru Jungkook, saat jarak antara mereka dan mobil Jungkook hanya beberapa langkah lagi.
Yein melepaskan ceklannya pada tangan Jungkook, tapi masih tak berbalik.
"Kenapa kau harus seperti ini?" tanya Jungkook. "Sikapmu sungguh keterlaluan, In."
Di depan sana, Yein memejamkan mata, berusaha meredam emosinya. Tapi tetap saja, perasaan marah itu tak kunjung hilang.
Jungkook melangkah, melewati Yein dan masuk ke dalam mobilnya. Yein mengikuti setelah terdiam beberapa saat. Masuk ke dalam mobil lantas menyandarkan kepala di kaca mobil Jungkook dengan tatapan kosong ke luar.
Puncak dari rasa kecewa, adalah saat kau memilih diam ketimbang harus mengutarakan semua kekecewaanmu. Itu yang Yein lakukan sekarang. Terlalu marah, terlalu kecewa pada Jungkook, padahal Yein melakukan ini semua karena rasa sayangnya yang teramat besar.
***