Malam ini, Jiae berpura-pura tidur terlebih dahulu. Padahal, hal itu hanyalah salah satu cara untuk menghindari interaksi lebih banyak dengan Yoongi. Bagaimana pun, kecupan yang Yoongi berikan ketika di kafe membuat Jiae bingung, tidak tahu harus bersikap apa setelahnya.
Sekarang, dengan posisi tubuh membelakangi Yoongi, ingin sekali Jiae berbalik untuk menatap lelaki itu. Apa yang sedang ia lakukan dan apa yang ia pikirkan tentangnya dan kejadian tadi. Kenapa tiba-tiba tadi dia mengecupnya begitu saja? Astaga, memikirkannya membuat Jiae semakin tidak bisa tidur.
Jiae menatap jam weker yang berada di sisinya. Sudah sangat larut malam, dan tidak ada pergerakan apa pun dari Yoongi sejak setengah jam lalu lelaki itu menaiki ranjang.
Mungkin Yoongi sudah tidur, pikir Jiae.
Perlahan-lahan, Jiae duduk untuk menatap Yoongi. Dan, betapa kagetnya saat ternyata Yoongi masih membuka mata. Dan Yoongi jelas memergoki dirinya barusan! Buru-buru Jiae mengalihkan pandangan. Betapa bodohnya kejadian itu.
"Kenapa? Kau butuh sesuatu?" tanya Yoongi.
Alih-alih menjawab, Jiae justru mengusap dadanya sendiri, berusaha menetralkan detak jatungnya yang menggila karena terlalu terkejut.
"Kaget karena aku masih terbangun?" Yoongi menatap Jiae dengan intens.
Ya ampun, Yoongi terlalu blak-blakan, membuat Jiae memejam dengan ringisan malunya. Yoongi tahu akan kenyataan itu, tetapi apakah dengan mengatakannya secara terang-terangan cukup bijak?
"Ti-tidak. Aku hanya ingin ke toilet," balas Jiae pelan. Lantas ia turun dari ranjang. Namun, tiba-tiba sebuah tangan memegang lengan atasnya, membantu Jiae berdiri.
"Biar aku bantu," gumam Yoongi. Pemilik tangan yang saat ini tengah membopong Jiae.
Jiae mendongak dan tersenyum miris. "Tidak apa, Yoongi-ssi. Aku bisa sendiri," balas Jiae canggung. Lagi-lagi, otak sialannya mengingat akan kecupan yang dilakukan Yoongi beberapa jam lalu. Membuat pipi Jiae seketika merona.
Lalu, bukan Yoongi namanya jika dia mendengarkan orang lain. Meski mendengar penolakan halus Jiae, dia tidak peduli. Tanpa bicara, Yoongi berusaha membantu Jiae berdiri, bahkan menuntun wanita itu sampai ke toilet.
"Jika sudah selesai, panggil aku." Pesan Yoongi pada Jiae.
Jiae hanya mengangguk pelan, membiarkan Yoongi keluar dari toilet, dan ia duduk di atas closet sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sungguh malu rasanya. Dia mengintip ke depan. Yoongi sudah menutup pintunya. Serta bayangan kepala pria itu terlihat melalui kaca buram berukuran 3/4 pintu tersebut.
Jiae ingin berteriak sekarang. Memaki dan mencaci Yoongi, kenapa tadi ia menciumnya dan tidak memberikan penjelasan apa pun atas kejadian itu! Jiae kesal, sangat kesal, karena ia harus mulai berharap setelah kejadian itu.
***
Acara sarapan keluarga Yoongi seperti biasa akan ramai jika Donghyun datang. Ya, remaja itu memang sangat lucu dan menggemaskan. Jiae menyukainya. Dia selalu bercerita banyak hal, mulai dari yang serius hingga yang terlucu.
"Meskipun Namjoon-hyung itu galak, tapi dia selalu menjadi bahan bully kami. Entah kenapa," Donghyun berbisik pada Jiae. Jiae sekuat tenaga menahan tawa karena perkataan Donghyun.
"Hyunie, berhenti menggosipkan seseorang yang ada di hadapanmu!"
Tidak usah ditanya, sudah pasti itu Kim Namjoon, saudara tertua Donghyun. Donghyun berusaha mengulum tawanya karena ditegur Namjoon. Memang Namjoon dan Yoongi itu sebelas dua belas, sangat mudah marah. Donghyun akui itu.
"Donghyun, kau suka sekali mengganggu hyung-mu," ucap Tuan Min Youngjae dengan gelengan jenakanya.
"Aku hanya mengatakan fakta tentangnya." Donghyun nyengir lebar.
Usai sarapan, Donghyun pergi untuk berlatih menari, sedangkan Namjoon bercengkrama dengan Tuan dan Nyonya Min. Sementara Jiae, ia pergi ke belakang untuk melatih otot kakinya supaya bisa berjalan dengan baik. Tanpa disadari Jiae, Yoongi mengikuti, dan bersandar di ambang pintu seraya memperhatikannya.
"Dia sangat gigih untuk sembuh," monolog Yoongi. "Apa karena dia ingin segera terbebas dariku, makanya dia segigih itu?"
Yoongi berlari menghampiri Jiae saat wanita itu hendak terpeleset. Dengan cekatan, tangan Yoongi meraih pinggang kecil Jiae dan memeluknya.
"Hati-hati," ujarnya. Lantas melepaskan tubuh Jiae, sebelum ia kembali khilaf.
"Terimakasih." Jiae berusaha menyeimbangkan tubuh, membenarkan rambut, dan berusaha menormalkan detak jantungnya yang berdetak tak terkendali.
"Tidak masalah." balas Yoongi. "Jangan berlatih sendiri. Bahaya. Biar kubantu." Yoongi meraih tangan Jiae di hadapannya, kemudian membawa wanita itu berjalan perlahan.
"Kenapa hari ini kau tidak keluar?" tanya Jiae.
"Karena aku tidak punya janji apa pun."
"Dengan Nayeon? Bukankah biasanya setiap hari Minggu kalian keluar?" Jiae bertanya dengan penjelasan yang lebih detail.
Raut muka Yoongi berubah keras. "Hari ini tidak," dia menjawab pelan.
Jiae hanya mengangguk kecil. Enggan membahas terlalu jauh, karena sepertinya Yoongi juga tidak mau membicarakannya.
Kini Jiae kembali terfokus pada langkahnya. Kaki-kaki kecilnya melangkah dengan kedua tangan yang Yoongi genggam. Sedangkan itu, Yoongi fokus memperhatikan wajah Jiae yang sesekali tersenyum sangat cantik. Yoongi bersumpah bahwa sekarang ia sudah tidak waras.
***
"Kau benar-benar berusaha keras untuk sembuh," gumam Yoongi setelah menenggak es jeruk di gelas yang ia genggam.
Jiae menolehkan kepala pada Yoongi dan sedikit tersenyum. Beberapa hari ini, Jiae sudah bisa tersenyum lebar kepada Yoongi. Bahkan, komunikasi mereka juga terbilang lancar ketimbang hari-hari ke belakang. Dan itu terjadi setelah Jiae mengutarakan perihal perceraian.
"Tentu, aku harus. Aku tidak boleh merepotkan orang lain terlalu lama."
"Bukan karena kau ingin segera cerai dariku?"
Jie mengangkat alis dan bahunya. "Mungkin, itu juga salah satu alasannya," balas Jiae.
Yoongi tersenyum paham, meski hatinya sedikit meringis nyeri.
"Apa yang akan kaulakukan setelah bercerai?"
"Mungkin aku akan bekerja, dan menjalani hidup dengan baik layaknya orang lain," jawab Jiae ringan.
"Bagaimana dengan menikah lagi? Apa kau tidak akan melakukannya?"
Kali ini, senyuman Jiae berubah sendu. Wanita itu menatap lurus gelas yang sedang ia genggan. "Entahlah. Aku tidak pernah berpikir tentang hal itu. Bagiku, mimpi tentang pernikahan yang bahagia sudah tak ada lagi," gumam Jiae, yang meski diutarakan dengan nada tegar, tetapi bola mata yang mengkristal menjelaskan bahwasanya Jiae hampa.
"Apa itu semua karenaku?"
Jiae menoleh, menggeleng pelan. "Tidak. Itu bukan karenamu. Tapi memang karena takdir. Ya, takdir yang membuatku kehilangan segalanya," ujar Jiae.
Yoongi menggeser posisi duduknya lebih dekat ke sisi Jiae. Meski sedikit ragu, Yoongi akhirnya menggenggam jemari Jiae yang ramping.
"Aku tahu, kau memiliki mimpi yang besar untuk kebahagiaan pernikahanmu," ucap Yoongi, menatap lurus ke kedalaman mata Jiae. "Aku yang bertanggung jawab atas hancurnya semua harapan itu. Jadi, bisakah aku membantumu membangun kembali mimpi-mimpi itu?"
Jiae bergeming. Menatap Yoongi lamat-lamat. Apakah Yoongi sedang bercanda, ataukah dia sedang merencanakan sesuatu untuknya?
"Apa maksudmu?" lirih Jiae.
"Bertahanlah denganku, bertahan dengan pernikahan kita. Ayo, perbaiki semuanya, Jiae-ssi."
***