Sujeong menatap wanita paruh baya yang saat ini berdiri angkuh di dalam tokonya. Wanita paruh baya yang terlihat masih cantik dengan dandanan glamour itu melihat-lihat seluruh barang di toko Sujeong dengan tatapan mencemooh.
"Barang-barang ini murahan, sama seperti yang menjualnya," ucap wanita itu sarkastis, yang membuat Sujeong hanya menghela napas pelan.
"Maaf, Eomma--"
"Jangan panggil aku eomma, karena aku tidak pernah memiliki anak sepertimu!" sela wanita itu cepat. "Aku ke sini hanya ingin melihat seberapa kecilnya tokomu dan juga seperti sebelum kau menikahi puteraku, aku ingin menyampaikan padamu agar kau meninggalkan Bambam dan cari pria kaya lain yang bisa kau bodohi."
Sujeong membuka mulut, hendak berbicara, tetapi wanita itu lagi-lagi menyela. "Tinggalkan dia. Kau tak pantas bersanding dengannya. Mengerti?" ucap wanita itu sinis, sebelum meninggalkan Sujeong dengan dua pengawal berpakaian formal yang membuntutinya.
Sujeong menatap nanar kepergian wanita itu, ibunya Bambam. Sujeong tidak apa-apa jika ibunya Bambam merendahkannya, tetapi hati Sujeong mencelos setiap kali wanita itu memintanya untuk pergi dari Bambam. Sujeong tidak bisa berpisah dengan Bambam. Bambam satu-satunya orang yang membuat Sujeong bertahan hidup. Bambam satu-satunya pria yang Sujeong cintai. Entah bagaimana jadinya jika ia kehilangan Bambam. Sujeong tak akan sanggup.
Ponsel Sujeong berbunyi. Foto manis Bambam dan dirinya terpampang di layar.
"Hallo?" jawab Sujeong setelah menormalkan suara dan memasuki ruangannya.
"Sayang, apa kau sibuk?" tanya Bambam di seberang sana. "Aku merindukanmu."
Sujeong tersenyum kecil mendengar suara prianya. "Apa yang kau rindukan dariku, hm?" tanya Sujeong manis.
"Semuanya. Matamu, bibirmu, hidungmu, suaramu, pelukanmu, ciumanmu, dan..."
"Dan?"
"Ranjang kita."
"Ck! Dasar mesum!" decak Sujeong dengan kekehan tertahannya. "Aku sedang datang bulan, jadi bye."
"Apa?" pekik Bambam keras, membuat Sujeong cekikikan keras. "Kau bohong, ya? Semalam kau masih bisa."
"Itu semalam, Bam. Barusan tamu itu datang," balas Sujeong jenaka.
Terdengar erangan kesal di sana. Sujeong yakin, Bambam pasti sedang memasang wajah ditekuk dengan bibir mengkerucutnya.
"Aku bersumpah bahwa aku pasti akan tersiksa selama tamu bulananmu itu belum pergi!" gumam Bambam.
"Apa kau menikahiku hanya karena itu?" tanya Sujeong.
"Jeong! Jelas tidak. Kau tahu aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Bahkan jika di kehidupan selanjutnya aku tak bisa mengingatmu, aku pasti akan tetap mencintaimu."
Sujeong mengulum tawa. Menyandarkan punggung pada sandaran kursi, wanita itu menatap foto pernikahannya dengan senyuman hangat sekaligus sendu.
"Jeong! Aku akan ke sana. Tunggu aku."
"Eh?" Sujeong menegakkan tubuh. "Ini masih jam lima sore. Bagaimana bisa kau akan ke sini? Jam kerjamu belum berakhir, bodoh!"
"Aku merindukanmu!"
"Bam, jangan kekanakan. Kau harus bertanggung jawab dengan pekerjaanmu. Biar aku yang menyusulmu ke sana nanti."
"Tapi--"
"Tidak ada tapi-tapian! Aku akan ke sana satu jam lagi." Tuut. Sujeong menutup panggilan sepihak. Ia berdecak kesal, Bambam selalu saja begitu.
***
"Chaeri, tolong nanti rekap hasil penjualan bulan ini dan kirim laporannya ke email-ku, ya."
Sujeong pamit keluar dari toko setelah Chaeri, karyawannya, mengangguk sopan. Sujeong berjalan cepat menuju halte, kemudian memeriksa ponselnya. Baru saja membuka kunci layar, panggilan dari nomor tak dikenal masuk.
"Hallo... apa!" pekik Sujeong panik begitu mendengar berita bahwa Bambam mengalami kecelakaan dan sekarang tengah dirawat di rumah sakit. "Baik. Saya akan ke sana sebentar lagi."
Sujeong memutus sambungan dan beranjak mencari taksi. Menunggu bus hanya akan membuatnya mati diterkam khawatir.
Tidak sampai setengah jam, Sujeong sudah sampai di rumah sakit dan mencari di mana keberadaan suaminya. Sujeong berlari seolah dunia akan berakhir dan tiada lagi hari esok. Ia masuk dengan segera ke dalam sebuah kamar inap VIP yang menurut info adalah tempat di mana Bambam berada.
Benar saja, netra Sujeong menangkap sosok Bambam yang tengah berbaring di atas blankar dengan beberapa perban di tangan dan kakinya.
"Bam!" pekik Sujeong panik. Ia menyentuh wajah, leher, dada, dan beberapa bagian tubuh Bambam khawatir. "Kenapa kau bisa seperti ini?" gumam Sujeong sendu. Sungguh, Sujeong sangat takut Bambam-nya kenapa-napa. Dia satu-satunya tumpuan hidup Sujeong. Kalau tidak ada Bambam, bagaimana bisa Sujeong hidup?
Tak berapa lama, Bambam membuka mata dan tersenyum kecil ke arah Sujeong. "Sayang," gumamnya serak.
Sujeong mendongak dan menatap Bambam dengan mata berkaca-kaca. "Bam, kenapa bisa seperti ini? Kau naik motor, benar?" tanya Sujeong menuntut.
Bambam menggerakkan tangannya menyentuh sisi wajah Sujeong. "Tadinya aku ingin buat kejutan untukmu, Jeong. Aku ingin mengenang masa-masa kuliah kita dulu ketika aku memboncengmu naik motor dan kau memelukku."
Astaga. Hanya karena itu?
"Dasar bodoh!" hardik Sujeong kesal kemudian. "Aku sudah bilang untuk tunggu aku di kantor. Aku akan menyusulmu! Kenapa kau keras kepala dan sok-sokan membuat kejutan! Bodoh! Bambam bodoh!" Sujeong memukul-mukul kecil dada Bambam, membuat lelaki itu terduduk dan meringis menghalau pukulan-pukulan Sujeong.
"Jeong, Jeong, hentikan! Sakit, Jeong!" ringis Bambam. Ia akhirnya menangkap tangan Sujeong dan menarik wanita itu ke dalam dekapannya. "Aku minta maaf," gumamnya.
"Jangan pernah seperti ini lagi, Bam!" bisik Sujeong. Air matanya mengalir begitu saja. "Aku takut, Bodoh. Aku takut."
Bambam tersenyum hangat di atas Sujeong. Dielusnya rambut ikal wanita itu dengan sayang. "Iya, aku tahu. Aku minta maaf, Sayang. Aku tahu kau sangat mencintaiku dan takut kehilangan aku."
Sujeong merengut di pelukan Bambam. Manusia itu masih saja narsis di saat-saat seperti ini. Sujeong kembali memukul pelan dada Bambam.
"Dasar narsis! Menyebalkan."
Bambam terkekeh garing. "Tapi itu kenyataannya, Sayang. Aku tampan, digilai banyak wanita, dan digilai kau juga. Kau takut kehilangan aku. Kau sangat mencintaiku. Kau tidak bisa berpaling dariku. Kau..."
Cup! Sujeong mengecup bibir penuh Bambam dengan tatapan lurusnya.
"Nah, akhirnya ocehan menyebalkanmu berhenti." Sujeong tersenyum lebar dan mengacak rambut Bambam yang memang sudah acak-acakan. "Istirahatlah. Aku akan menemui dokter." Sujeong memberi jarak antara dirinya dan Bambam, tetapi Bambam malah menarik Sujeong kembali.
"Jangan tinggalkan aku."
"Bam, aku hanya menemui dokter!" pekik Sujeong gemas dengan kelakuan ajaib suaminya.
"Tapi aku rindu."
Sujeong memutar bola mata malas. "Aku pergi tidak akan sampai satu jam, Bam! Paling juga sepuluh menit," balasnya.
"Satu menit saja aku rindu, Jeong. Ralat. Satu detik juga aku rindu."
Sujeong gemas sendiri. Dicubitnya kedua pipi Bambam, menguyel-uyelnya gemas sekaligus kesal.
"Simpan mulut manismu itu sampai kau sembuh, mengerti?" Bambam merengut mendengar jawaban Sujeong. "Jangan kekanakan, Sayang!" Sujeong menyentil dahi Bambam. Tidak sinkron memang. Bibir bilang sayang, tapi tangan nyentil jidat. Hm.
"Peluk aku dulu," gumam Bambam menyebalkan.
Sujeong menggeleng pelan, tetapi menuruti keinginan Bambam, memeluknya dengan hangat. Memang Bambam itu seperti perangko yang kerjaannya nempel terus pada Sujeong. Dari zaman kuliah juga seperti itu.
"Sudah. Aku harus pergi sekarang," gumam Sujeong.
"Sebentar lagi," gumam Bambam, mengendus wangi shampo yang digunakan istrinya. "Harumnya beda, Jeong."
"Apa?" tanya Sujeong tak mengerti.
"Shampo. Wanginya beda."
"Oh, shampo yang biasa habis. Jadi aku pakai shampo-mu."
"Iyakah? Memangnya wangi shampo-ku begini, ya?"
Bambam dan keidiotannya. Wangi shampo Sujeong dia hapal, giliran wangi shamponya sendiri tidak tahu. Pada akhirnya, Sujeong menemui dokter setelah sepuluh menit kemudian.
***
😂😂😂😂