The Reason

By radivya

170K 13.5K 874

[FINISH] ----- "Seseorang yang berada di depan, akan tetap kalah dengan yang berada di belakang sana dan teta... More

First Reason
Second Reason
Third Reason
Fourth Reason
Fifth Reason
Sixth Reason
Seventh Reason
Eight Reason
Ninth Reason
Tenth Reason
Eleventh Reason
Twelfth Reason
Thirteenth Reason
Fourteenth Reason
Fifteenth Reason
Sixteenth Reason
Seventeenth Reason
Eighteenth Reason
Nineteenth Reason
Twenty Reason
Twenty First Reason
Twenty Third Reason
Twenty Fourth Reason
Twenty Fifth Reason
Twenty Sixth
Twenty Seventh
Twenty Eight
Twenty Ninth
Thirty
Thirty First
Thirty Two
Thirty Third
Thirty Fourth
Thirty Fifth
Thirty Sixth
Thirty Seventh
Thirty Eighth
Thirty Ninth
Forty
Forty First
Forty Two
Forty Third
Forty Fourth
Forty Fifth
Forty Sixth
Forty Seventh
Forty Eighth (The Last Reason)

Twenty Two Reason

2.7K 250 12
By radivya

Lampu lalu lintas masih berwarna merah. Kaki menapak, napasnya begitu tenang dari balik helm full-face hitam yang selalu dikenakannya.

Urusan kampus saat ini selalu berhasil menyita banyak waktunya. Dari mulai tugas kelas, sampai amanah organisasi.

Jika dilihat dari dekat, lingkaran di bawah mata semakin menghitam. Belum lagi dia harus mengerjakan project dakwah melalui video-videonya.

Jalanan masih cukup ramai, meski kumandang azan Isya sudah lewat satu jam yang lalu. Setelah berhenti di salah satu masjid dan melaksanakan kebutuhannya, kini tujuannya adalah rumah. Tak sabar untuk segera mengistirahatkan tubuh.

Yassar memerhatikan sekitar. Lampu-lampu di pinggir jalan menemani perjalanan pulang. Sekilas kenangan bersama adiknya terbayang. Bagaimana dia keluar mencari makan dengan Aisha pada malam hari. Hari dimana adiknya tahu bahwa sudah ada perempuan yang menarik hatinya.

"Hayo lho. Mas lagi balas pesan siapa, sampai nahan ketawa gitu," ujarnya.

Yassar sontak mematikan ponselnya. Terkejut mendengar ucapan Aisha. Gawat kalau sampai ketahuan.

"Enggak. Ini lagi baca Line Today, ada yang lucu," kilahnya.

Terlihat dari sudut mata bahwa Aisha masih menyimpan tanya. Yassar tahu bagaimana sifat adiknya, dia tidak akan mudah percaya dan akan terus menggoda sampai mendapatkan jawaban yang sebenarnya.

"Ayo nih, Mas gak mau cerita sama Icha," ujarnya menunjukkan wajah kesal.

Kalau sudah seperti ini, mau tidak mau Yassar harus membongkar semuanya.

"Iya iya. Mas jujur deh, emang kamu paling gak bisa dibohongi, ya."

Aisha tertawa, hingga matanya menyipit. Kerudungnya tersapu angin malam.

"Jadi...."

Yassar mengerem motornya. Seekor kucing menyeberang tanpa aba-aba, hampir saja tertabrak. Ini karena kelalaiannya. Melamun saat sedang menyetir memang benar-benar berbahaya.

Dengan kecepatan normal, Yassar kembali melajukan sepeda motornya. Perjalanan ke rumahnya tinggal sebentar lagi. Melewati beberapa perumahan untuk sampai pada rumah bercat hijau cerah.

Dia memarkirkan motor setelah membuka pagar. Temaram lampu menerangi langkahnya. Suara jangkrik yang bersahutan terdengar dari halaman rumahnya, di bawah pohon mangga.

"Assalamualaikum."

Tangan kirinya menjinjing sepatu, memasuki ruangan dimana orang tuanya terlihat sedang serius mengobrol.

"Lho, baru pulang, Yas."

Ucapan Mama disambut anggukan. Kemudian tatapnya beralih pada Papa yang menyuruhnya duduk.

"Ada apa, Pa?"

Orang tuanya terlihat serius. Jangan-jangan mereka akan membicarakan soal Annisa seperti waktu itu.

"Kalau mau ngomongin Annisa, aku langsung ke kamar saja ya. Capek rasanya," kilahnya.

Kalau saja Yassar bisa berkata jujur, dia akan menceritakan tentang Sabiya. Tentang bagaimana perasaannya pada perempuan itu. Dan, tentang bagaimana harapannya untuk bisa bersama Sabiya dalam ikatan yang diridai Allah.

"Kamu ndak boleh bicara seperti itu lah, Yas. Ustaz Royyan kan orang ternama di kampung kita, lagipula dia juga sudah setuju ketika Papa tanya perihal pernikahan," jelas Papa.

Astagfirullah.

Yassar berusaha menahan amarahnya, tidak baik kalau hal semacam ini menjadi bibit pertengkaran dengan orang tuanya.

"Betul apa kata Papa, Yas. Kelihatannya Annisa juga suka sama kamu. Kalau memang mau, kita bisa segerakan," tambah Mama.

Hatinya semakin panas. Pikirannya semakin kacau. Kelelahan selesai rapat dan syuting video, menjadi salah satu alasan amarahnya kian memuncak. Sebisa mungkin Yassar menahannya.

"Ma, aku gak mau. Terserah Papa mau bilang kalau Annisa anak orang ternama atau apa pun itu, tapi aku tetap gak bisa."

"Kalau kamu ndak cinta, nanti setelah menikah lama-kelamaan perasaan cinta itu bisa tumbuh," tegas Mama.

"Betul itu. Apalagi Annisa cantik, pintar masak juga," tambah Papa.

Tanpa sadar Yassar menggebrak meja. Membuat kedua orang tuanya terdiam.

"Astagfirullah. Maaf, Ma, Pa. A-aku ndak sengaja. Padahal sudah berusaha nahan emosi. Aku ndak mau sama Annisa bukan karena gak cinta. Tapi ada perempuan lain yang sedang aku perjuangkan," ucapnya.

Yassar berniat pergi dari obrolan malam yang membuatnya gerah. Namun, Mama menahannya. Terlihat matanya berbinar, baru kali ini dia melihat pancaran harapan dari mata Mama setelah kepergian Aisha.

"Alhamdulillah. Siapa namanya? Tinggal dimana? Apa kuliah juga? Bagaimana wajahnya? Pintar masak juga? Ap—"

"Ma," potong Yassar. "Aku ndak bisa cerita sekarang. Aku masih belum berani. Nanti kalau segala pertimbangan sudah matang, aku pasti ngomong. Aku ndak tahu bagaimana wajahnya, bisa masak atau ndak. Toh bukan itu juga yang aku cari," jelasnya.

Yassar benar-benar kehabisan kata, dia tidak mau menceritakan soal Sabiya saat ini. Waktunya belum tepat, dia masih belum berani melangkah lebih jauh lagi. Terlalu banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Terlalu banyak persiapan yang belum matang.

"Apa? Ndak tahu rupanya bagaimana maksudnya? Jangan bicara soal jodoh yang masih di tangan Allah, kalau ndak dicari ya ndak bakal ketemu," ujar Papa. Pandangan matanya tidak sama seperti Mama. Ada kekecewaan yang terpancar.

"Aku baru kenal dia sebatas chatting, Pa. Jadi, apa yang yang harus aku jelaskan sama kalian? Nanti, kalau aku sudah siap, pasti aku datang temui dia."

"Apa ndak bisa kalian pacaran dulu sebelum ke tahap yang lebih serius? Apalagi ini baru kenal di dunia maya," tanya Papa.

"Astagfirullah, Pa. Aku ndak mau menjemput jodoh dengan cara seperti itu. Biarkan Allah yang menjadi sebaik-baik pengatur rencana. Toh aku juga berusaha agar bisa menyegerakannya. Aku minta Papa dan Mama sabar, sampai aku benar-benar siap segalanya."

Kali ini Yassar benar-benar pergi ke kamar setelah mengakhiri obrolan dengan orang tuanya.

Yassar melempar tas ke sudut tempat tidur. Menjatuhkan tubuh di dekatnya. Matanya terpejam, dengan napas meburu. Hari demi hari terasa semakin berat.

Perasaannya tak karuan. Ingatannya tiba-tiba menelusur masa lalu. Sudah hampir lima bulan Yassar tidak menerima kabar apapun tentang Sabiya. Namun, tetap saja harapan itu masih ada. Yassar tidak bisa membohongi hatinya, dia masih ingin berjuang untuk Sabiya, meski rasanya sulit.

Obrolan dengan orang tuanya perihal pernikahan semakin menggema dalam pikiran. Yassar juga ingin menyegerakan, tapi saat ini dia belum siap. Kuliahnya masih semester tiga. Soal uang saja masih belum bisa mandiri, bagaimana bisa dia punya keberanian meminta Sabiya menikah dengannya.

Tapi, tiba-tiba saja dia teringat perkataaan Ustaz Salim ketika mengisi kajian di masjid kampus.

"Menikah bukan hanya tentang siapnya uang dan segala macam materi lainnya. Tapi, kesiapan untuk meraih syurga bersama. Belajar bersama. Matangkan pertimbangan niat serta usaha, Allah akan membantu hamba-Nya."

Yassar bangkit dan duduk bersandar, mengambil ponsel di dalam tas.

Tidak ada salahnya mencoba.

Dia mencari kontak Sabiya. Setelah berpikir cukup lama, Yassar memberanikan diri mengirim pesan singkat.

"Lho?"

Pesannya tidak terkirim. Kontak whatsapp-nya diblokir oleh Sabiya. Yassar mencoba mengirim menggunakan aplikasi Line. Sayangnya, kontak perempuan itu tidak ada. Sepertinya Sabiya menghapus akun.

"Coba instagram," ucapnya.

Lagi-lagi pengguna memblokir pertemanan dengannya. Sepertinya Yassar harus menghubunginya langsung. Dia berusaha men-dial nomor Sabiya berkali-kali. Namun, jawaban yang didapatnya tetap sama.

"Nomor yang Anda tuju tidak aktif."

Yassar termenung. Bagaimana ini? Dia tidak bisa lagi menghubungi Sabiya. Apa perempuan itu membencinya, atau dia sudah menemukan laki-laki lain?

Memikirkan hal itu membuat Yassar semakin kacau. Kenapa bisa sampai seperti ini. Apa ini artinya dia harus menyerah?

Yassar menutup wajah dengan kedua tangannya. Cairan hangat mengalir membasahi pipi. Saat ini dia benar-benar merasa kacau.

Kalau kamu sudah menemukan yang lain. Tolong bilang. Itu kesepakatan kita 'kan?

Continue Reading

You'll Also Like

939K 28.9K 58
Kesalahan karena kabur dari Mesir saat pendidikan membuat seorang gadis terpaksa dimasukkan ke sebuah pesantren ternama di kota. namun karena hadirny...
354K 20.6K 84
"Manusia saling bertemu bukan karena kebetulan, melainkan karena Allah lah yang mempertemukan." -Rashdan Zayyan Al-Fatih- "Hati yang memang ditakdirk...
6.5M 565K 72
|| FiksiRemaja-Spiritual. || Rabelline Maheswari Pradipta. Wanita bar-bar, cuek dan terkadang manja yang terpaksa masuk pesantren sang kakek karena k...
231K 14K 42
FOLLOW TERLEBIH DAHULU!! SEBELUM BACA! 📌 Dilarang untuk plagiat karena sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. kisah ini menceritakan...