Twenty Fifth Reason

3.2K 281 21
                                    

Malang, Jawa Timur.
Satu tahun kemudian.

Langkahnya semakin cepat, pandangannya sesekali melihat benda yang melingkar di tangan kanan.

"Sebentar lagi dimulai. Semoga masih sempat," ucapnya sedikit cemas.

Pada belokkan masjid, seharusnya dia memperlambat langkah. Kesahalan yang justru membuatnya merasa malu. Bukan perihal rasa sakit yang dirasakannya pada bagian kening.

"Maaf, maaf. Sekali lagi maaf, saya tidak sengaja," ucapnya beberapa kali sampai laki-laki di depannya mengiyakan dan meninggalkannya.

Benar-benar memalukan. Apa laki-laki itu mahasiswa di sini juga, bagaimana kalau nanti mereka bertemu lagi?

Ah, sudah. Bukan itu yang harus dipikirkan saat ini. Dia melanjutkan langakahnya menaiki undakan tangga.

Saat ini Sabiya sedang menjalankan Exchange Student Program di Universitas Negeri Malang. Awalnya dia tidak berniat mengikuti program itu. Namun, didorong oleh Rais agar dia mencoba. Ternyata hasilnya di luar dugaan, Sabiya terpilih untuk berangkat ke Malang. Saat ini adalah bulan ketiganya di sini.

Seperti yang sudah umum, ketika pertama kali dia masuk di universitas ini memang terdapat beberapa kesulitan. Namun, ada seseorang yang sejak awal membantunya.

Tahun ini dia akan menghabiskan waktu selama dua semester di Kota Apel. Mengikuti segala pembelajaran di salah satu universitas favorit.

Hari ini dia sudah bersiap untuk mengikuti kajian di masjid Al-Hikmah. Ketika sampai di dekat pintu masuk, menoleh kanan-kiri untuk mencari keberadaan temannya. Sesekali mengecek ponsel, menunggu balasan pesan darinya.

"Sabiya. Di sini."

Dia menoleh, melihat seorang perempuan melambaikan tangan ke arahnya. Dengan pakaian berwarna cerah, perempuan itu mudah sekali terlihat di antara orang yang berjalan melewatinya.

Sabiya segera menghampirinya.

"Assalamualaikum ukhti shalihahku," sapanya ketika sampai.

"Waalaikumsalam shahibul jannah-ku," jawab perempuan itu dengan senyum khasnya. "Nih udah aku beliin tiket masuknya, kurang baik apa coba."

"Wah wah, memang deh Chila terbaik," pujinya.

Mereka berjalan memasuki gedung masjid. Menaiki satu per satu anak tangga, sampai di ruangan yang sudah rapi tertutup hijab di bagian tengahnya. Beberapa orang terlihat sudah mengambil posisi duduk. Di barisan akhawat sudah ada empat saf, sedangkan di tempat ikhwan baru ada dua saf, masih bisa terhitung jari.

Tidak asing memang, di setiap acara peserta perempuan seringkali lebih banyak mendominasi.

"Kita duduk di sana aja, Sa," ajaknya seraya menuntun.

Namanya Ashila, lebih terkenal dengan panggilan Chila. Seorang mahasiswi jurusan Bahasa Arab yang menjadi teman satu kamarnya di asrama. Semenjak itu mereka menjadi dekat dan banyak berbagi pengalaman. Sebagai seorang mahasiswi tetap di UM, Ashila membuat Sabiya merasa terbantu, terutama pada beberapa sistem perkuliahan di sini yang berbeda dengan tempatnya kuliah.

"Kamu suka banget ya sama dia, Sa?" tanyanya ketika mereka sudah duduk di saf kelima paling ujung dekat hijab.

"Bukan suka. Lebih tepatnya kagum. Semacam dia itu tokoh inspirasi," jawabnya.

Sabiya berkata jujur, bahwa dia hanya kagum dengan cara laki-laki itu berdakwah. Semua video dakwah di channel youtube-nya sudah tamat Sabiya tonton. Dari mulai video pertama hingga saat ini. Dan hari ini dia menghadiri kajiannya secara langsung, bukan hanya menonton di depan layar monitor.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang