Thirty Seventh

2.2K 260 30
                                    

Ruang tamu terasa ramai. Keluarganya berkumpul tanpa satu pun yang tertinggal. Ada ibu dan bapak, juga adiknya. Di sisi lain ada pakde dan bude, juga Rais yang sedari tadi senyum-senyum melihat ke arah Sabiya.

Pertama kali dalam hidupnya, Sabiya merasakan debaran jantung yang luar biasa. Entah terlalu bahagia atau masih belum percaya, keduanya sama-sama menempati posisi teratas dalam dirinya saat ini.

Di hadapannya duduk seorang laki-laki yang selama ini dia kenal—sebatas tukar kata lewat pesan udara—cukup lama. Seseorang yang entah bagaimana bisa menyita perhatiannya meski tak tahu rupa. Sabuya yang tidak pernah tahu bagaimana wajah Daris, bagaimana sifatnya yang sebenarnya, apa saja kekurangannya, apakah dia benar-benar orang baik atau bukan. Selama ini dia seolah tidak pernah memikirkan hal itu. Dia kira perasaannya hanya singgah sesaat pada Daris, ternyata salah, sampai detik ini pun Sabiya bisa merasakan bagaimana harapannya masih sama, doa yang dia ucapkan setiap saat masih sama. Ternyata ini rencana yang sudah Allah siapkan untuknya, setelah merasakan beratnya memendam rasa dan menanti ketentuan sang Pencipta.

Sabiya sempat bingung bagaimana menjelaskan semua kepada orang tuanya, beruntung Rais mau membantu. Masih terbayang bagaimana reaksi kedua orang tua serta pakde dan bude tadi. Wajah terkejut dan serangan berbagai pertanyaan serasa tiada henti. Dia takut kalau orang tuanya akan menyuruh Daris pulang tanpa memberi kesempatan menyampaikan niatannya datang ke sini. Namun, ternyata ketakutan jtu tidak terjadi. Meski terkejut, ibu dan bapak justru menyambut baik kedatangannya.

"Santai saja, Nak. Tidak usah tegang," ujar bapak.

Sabiya yang duduk di samping ibu, hanya bisa menghela napas, debaran jantung yang tak biasa sedikit membuatnya sesak. Ibu menggenggam tangannya, memijatnya pelan.

"Kamu juga santai aja, jangan terlalu deg-degan," ucap ibu.

Sabiya mengangguk, dia berusaha menetralkan perasaannya. Apa ini akan menjadi momen bersejarah dalam kehidupannya?

Suara Daris membuatnya reflek menoleh. Samar-samar dia mendengar getar di dalamnya, apa laki-laki itu sangat gugup? Bukankah dia sudah sering bicara di depan umum, kenapa saat ini harus merasa gugup?

"Sebelumnya perkenalkan, saya Daris. Maksud kedatangan saya untuk menyampaikan niatan kalau saya ingin serius dengan putri Bapak. Saya berniat untuk menikahi Sabiya."

Ucapan itu mengalir begitu saja melewati pendengarannya. Sabiya merasa hangat, rasa haru menyelimuti dirinya. Dia menggenggam tangan ibu semakin erat. Apa seperti ini rasanya setelah cukup lama menanti? Bahagia.

"Alhamdulillah. Bagus sekali niatan kamu. Nak Daris teman satu kampusnya Biya?" tanya Bapak.

"Bukan, Pak. Saya dari Malang, saya mengenal Sabiya lewat sosial media, selama ini kami tidak tahu rupa masing-masing. Hanya pernah bertukar pesan dan saling berdiskusi, mungkin dari situ saya merasa tertarik," jawabnya.

Terlihat ibu dan bapak terkejut mendengar jawabannya, ibu sampai ikut angkat suara. "Lho, terus kenapa bisa yakin sampai jauh-jauh datang ke sini? Kalian belum pernah bertemu juga?" tanyanya.

"Allah yang menuntun saya ke sini, Bu. Bagi saya tidak ada kebetulan, semua sudah nenjadi rencana Allah. Memang sebelumnya kami tidak pernah bertemu, namun setelah Sabiya ke Malang untuk pertukaran pelajar, Allah beri kesempatan pertemuan itu terjadi. Saat itu saya tidak sadar kalau itu Sabiya, begitu pun sebaliknya. Meski pada akhirnya saya yang lebih dulu menyadari kalau ternyata itu adalah Sabiya. Maaf, Pak, Bu, mungkin ceritanya cukup panjang dan memakan waktu, bahkan sulit dipercaya," ujarnya.

"Gak apa-apa, Ibu ingin dengar," katanya. Ibu ini sepertinya sangat tertarik, seperti mendengar dongeng saja.

Daris mengangguk, kemudian menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Sabiya ikut terkejut, ada beberapa hal yang baru dia ketahui ketika Daris bercerita.

Setelah mendengar semua penjelasan Daris, ada perasaan takjub yang semakin dia rasakan. Kenapa skenario yang Allah buat begitu indah, benar-benar tidak pernah terbayangkan olehnya. Sabiya selalu merasakan ketidakmungkinan, namun apa yang Daris ceritakan seolah menghapus segala ragu tentang apa yang dia harapkan.

"Kurang lebihnya begitu, Pak, Bu. Dan saat ini saya memberanikan diri untuk menyampaikan niatan saya, karena saya ingin menggenapkan separuh agama saya bersama putri Bapak. Aaya memang belum memiliki pekerjaan dengan gaji yang tetap, sehingga saya tidak bisa menjanjikan Sabiya bisa hidup mewah bersama saya. Tapi, insyaAllah saya akan selalu berusaha memuliakannya sesuai dengan ajaran Rasulullah, karena saya ingin bersama Sabiya tidak hanya di dunia saja," jelasnya.

Tanpa disadari air mata menetes begitu saja, Sabiya segera mengusapnya. Dia tidak lagi mendengar suara gemetar dari Daris, melainkan suara penuh keyakinan. Allah, hatinya semakin luluh. Dia takut akan semakin banyak memikirkan laki-laki di hadapannya. Astagfirullah. Jangan lagi.

"Bapak senang mendengar penjelasanmu, Nak. Tapi, sebenarnya di sini Bapak tidak sepenuhnya memiliki hak untuk menentukan. Maka Bapak akan tanyakan langsung pada Sabiya. Bagaimana, Bi?"

Hening. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia ingin, tapi takut terburu-buru. Sabiya takut menerima niatan laki-laki itu karena dia memang sudah menaruh rasa sejak awal. Sabiya takut niatnya menerima tidak lurus.

"Katanya sih kalau diam tandanya iya, Pakle," ujar Rais diiringi tawa.

Memang benar, yang dikatakan Rais tidak sepenuhnya salah. Namun, Sabiya rasa ada yang harus dia lakukan untuk lebih memantapkan hati.

"Beri saya waktu dua hari. Saya ingin istikharah terlebih dahulu sebelum memutuskan," pintanya. Sabiya harus benar-benar memastikan kalau ini adalah ketentuan terbaik yang Allah berikan.

Daris mengiyakan. Dia bilang akan menunggu di Bandung selama dua hari ini. Jika Sabiya menerima niatannya, Daris akan meminta orang tuanya untuk datang dan meminangnya secara resmi. Namun, jika sebaliknya, dia akan langsung pulang bersama Nizar.

Setelah obrolan serius yang dilakukan hampir dua jam lamanya, Daris dan Nizar pamit. Katanya mereka akan pergi ke rumah teman Nizar untuk ikut tinggal sementara. Beruntung Rais berbaik hati untuk mengantarkan ke tempat tujuan.

"Tumben-tumbenan," celetuk Sabiya.

Rais menoleh sebelum menutup pintu, "Banyak hal yang harus diobrolin nih sama calon adik ipar," katanya.

Menyebalkan. Rais selalu bisa menggodanya. Sabiya melihat Daris teesenyum ke arahnha sebeLum dia masuk ke dalam mobil, seolah berkata, "Sampai bertemu lagi."

Allah. Kejutan apa lagi yang akan Engkau berikan setelah ini.

***

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang