Twenty Eight

2.6K 285 26
                                    

Seminggu berlalu sejak mengisi acara di Talk Show yang mempertemukannya dengan seorang perempuan bernama Saviya. Entah kenapa sampai saat ini masih teripikirkan tentangnya. Bukan berarti tumbuh rasa suka, hanya saja dia merasa mendengar perempuan itu menyebut namanya Sabiya bukan Saviya.

Ingin sekali memastikan hal itu dengan mencoba menghubungi Sabiya, tapi tidak bisa. Semua akun medsos miliknya diblokir, pun dengan nomor telepon.

Jika diambil nekat, dia bisa saja kembali ke Universitas Negeri Malang untuk mencarinya. Namun, belum tentu perempuan itu adalah mahasiswi di sana. Kemungkinan untuk bisa bertemu lagi sangat kecil. Di antara banyaknya mahasiswa, bagaimana dia bisa menemukan perempuan itu.

Dia menutup laptop, mengembuskan napas panjang. Sejak kemarin pikirannya benar-benar tidak stabil. Meskipun sudah berusaha melupakan kejadian itu, tetap saja dia penasaran.

"Yas, lagi apa diam di situ?"

Suara Mama membuatnya menoleh. Di dekat pintu masuk Mama menatap penuh kelembutan. Biasanya di saat-saat seperti ini Aisha akan menemaninya duduk di kursi sebelahnya, sehingga orang rumah tidak akan bertanya, karena dia terlihat sedang bermain bersama adiknya. Namun, kali ini kursi di sampingnya kosong. Tak salah jika Mama bertanya.

"Yas, Mama tanya."

"Eh, iya, Ma? Ini lagi ngerjain tugas," jawabnya.

"Ngerjain tugas atau ngelamun? Mbok ya kalau ngerjain tugas di dalam saja," ujar Mama seraya duduk di sampingnya. "Masih mikirin Aisha?"

Yassar menggeleng. "Ndak, bukan gitu, Ma. Lagi kepikiran orang lain."

Dia membulatkan mata, "Eh, ndak, Ma. Ini mikirin tugas."

Mama tersenyum, melihatnya salah tingkah. Yassar tahu apa yang akan dikatakan Mama sekarang.

"Jadi, siapa?" tanya Mama sesuai dugaannya.

"Bukan siapa-siapa. Aku keluar dulu ya, Ma. Mau ketemu Nizar," ucapnya seraya menyalami Mama dan beranjak dari tempatnya.

Di belakannya terdengar kata-kata 'cie' yang dilontarkan sang Mama. Benar-benar menggelikan, bisa-bisanya dia kelepasan. Untung saja tidak menyebutkan nama.

Sebelum mengeluarkan motor, Yassar mengirimkan pesan singkat pada Nizar kalau dia akan datang ke rumahnya. Memasukkan ponsel ke dalam saku, dia mengenakan helm kemudian langsung pergi tanpa menunggu balasan.

Sepanjang jalan dia memantapkan hati untuk mencari tahu tentang perempuan itu. Tidak peduli akan seperti apa hasilnya, setidaknya itu bisa membuat pikirannya sedikit lega, mungkin.

Sekitar lima belas menit menempuh perjalanan, dia memarkirkan motor di depan gerbang berwarna cokelat. Sekali menekan bel, belum ada yang membuka gerbang. Dia masih menunggu, mengecek pesannya yang belum juga mendapat balasan. Ditelepon pun tidak ada jawaban. Apa jangan-jangan Nizar masih tidur.

"Lho, Mas Yassar," ujar seseorang yang mengintip di balik gerbang. "Mau cari mas Nizar, ya?"

Yassar mengangguk. Perempuan di depannya adalah Nishrina―adik sahabatnya. Sejak berteman dengan Nizar, dia juga jadi kenal dengan keluarganya.

"Mas Nizar lagi nganter Ibu ke rumah Pakde Satyo. Ayo masuk dulu, Mas," ajaknya.

"Eh, ndak usah, Rin. Saya langsung balik aja, masih ada urusan."

Yassar lansung pamit, melajukan motornya menuju Universitas Negeri Malang. Perasaannya meragu, karena tidak ditemani Nizar. Namun, dia tidak mungkin kembali begitu saja tanpa hasil. Sudah di tengah jalan, sayang kalau berhenti, pikirnya.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang