Twenty Two Reason

2.7K 250 12
                                    

Lampu lalu lintas masih berwarna merah. Kaki menapak, napasnya begitu tenang dari balik helm full-face hitam yang selalu dikenakannya.

Urusan kampus saat ini selalu berhasil menyita banyak waktunya. Dari mulai tugas kelas, sampai amanah organisasi.

Jika dilihat dari dekat, lingkaran di bawah mata semakin menghitam. Belum lagi dia harus mengerjakan project dakwah melalui video-videonya.

Jalanan masih cukup ramai, meski kumandang azan Isya sudah lewat satu jam yang lalu. Setelah berhenti di salah satu masjid dan melaksanakan kebutuhannya, kini tujuannya adalah rumah. Tak sabar untuk segera mengistirahatkan tubuh.

Yassar memerhatikan sekitar. Lampu-lampu di pinggir jalan menemani perjalanan pulang. Sekilas kenangan bersama adiknya terbayang. Bagaimana dia keluar mencari makan dengan Aisha pada malam hari. Hari dimana adiknya tahu bahwa sudah ada perempuan yang menarik hatinya.

"Hayo lho. Mas lagi balas pesan siapa, sampai nahan ketawa gitu," ujarnya.

Yassar sontak mematikan ponselnya. Terkejut mendengar ucapan Aisha. Gawat kalau sampai ketahuan.

"Enggak. Ini lagi baca Line Today, ada yang lucu," kilahnya.

Terlihat dari sudut mata bahwa Aisha masih menyimpan tanya. Yassar tahu bagaimana sifat adiknya, dia tidak akan mudah percaya dan akan terus menggoda sampai mendapatkan jawaban yang sebenarnya.

"Ayo nih, Mas gak mau cerita sama Icha," ujarnya menunjukkan wajah kesal.

Kalau sudah seperti ini, mau tidak mau Yassar harus membongkar semuanya.

"Iya iya. Mas jujur deh, emang kamu paling gak bisa dibohongi, ya."

Aisha tertawa, hingga matanya menyipit. Kerudungnya tersapu angin malam.

"Jadi...."

Yassar mengerem motornya. Seekor kucing menyeberang tanpa aba-aba, hampir saja tertabrak. Ini karena kelalaiannya. Melamun saat sedang menyetir memang benar-benar berbahaya.

Dengan kecepatan normal, Yassar kembali melajukan sepeda motornya. Perjalanan ke rumahnya tinggal sebentar lagi. Melewati beberapa perumahan untuk sampai pada rumah bercat hijau cerah.

Dia memarkirkan motor setelah membuka pagar. Temaram lampu menerangi langkahnya. Suara jangkrik yang bersahutan terdengar dari halaman rumahnya, di bawah pohon mangga.

"Assalamualaikum."

Tangan kirinya menjinjing sepatu, memasuki ruangan dimana orang tuanya terlihat sedang serius mengobrol.

"Lho, baru pulang, Yas."

Ucapan Mama disambut anggukan. Kemudian tatapnya beralih pada Papa yang menyuruhnya duduk.

"Ada apa, Pa?"

Orang tuanya terlihat serius. Jangan-jangan mereka akan membicarakan soal Annisa seperti waktu itu.

"Kalau mau ngomongin Annisa, aku langsung ke kamar saja ya. Capek rasanya," kilahnya.

Kalau saja Yassar bisa berkata jujur, dia akan menceritakan tentang Sabiya. Tentang bagaimana perasaannya pada perempuan itu. Dan, tentang bagaimana harapannya untuk bisa bersama Sabiya dalam ikatan yang diridai Allah.

"Kamu ndak boleh bicara seperti itu lah, Yas. Ustaz Royyan kan orang ternama di kampung kita, lagipula dia juga sudah setuju ketika Papa tanya perihal pernikahan," jelas Papa.

Astagfirullah.

Yassar berusaha menahan amarahnya, tidak baik kalau hal semacam ini menjadi bibit pertengkaran dengan orang tuanya.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang