Forty Fifth

1.1K 143 16
                                    

Waktu berlalu sejak kejadian pertemuan tak terduga antara dirinya dengan Annisa dan Faruq ketika sedang bersama Daris dan ibunya. Hampir satu minggu lebih, tapi kenangan itu masih melekat di pikirannya. Tentang fakta bahwa perempuan itu ternyata menyukai Daris, bahwa orang tua Daris sempat menjodohkan mereka, dan fakta bahwa laki-laki yang pernah diceritakan Annisa saat di kereta itu adalah Daris.

Sabiya berhenti menyesap teh di hadapannya, saat ini dia tengah duduk di halaman belakang asrama, menikmati senja yang begitu indah. Senja yang membawa pikirannya larut, memutar kenangan tentang hari itu.

Annisa masih berdiri di depannya bersama Faruq. Daris tetap diam, dia terlihat tidak nyaman. Sedangkan Sabiya termenung dalam lamunannya, sebenarnya apa yang sedang terjadi saat ini, dia butuh penjelasan tentang bagaimana perempuan itu mengenal Daris.

"Nis, lagi apa di sini?" tanya wanita di sampingnya.

Sabiya membatin, ternyata ibunya Daris pun mengenal perempuan ini.

"Lagi jalan aja, Tan. Ngajak jalan sepupuku ini sebelum besok pulang ke Bandung lagi," jawabnya.

Ibu mendekat, merangkul pundak Sabiya. "Kenalkan, ini Sabiya, calon istrinya Yassar. InsyaAllah bulan depan akan menikah."

Jelas sekali laki-laki yang bersama Annisa itu terkejut. Sabiya tersenyum kaku, tidak berani menatap terutama pada Faruq. Hal itu membuatnya melewatkan satu momen, bahwa Annisa menatap tak percaya kepadanya, bahwa raut wajah perempuan itu berubah dingin seketika.

"Oh, begitu, Tan. Selamat ya. Saya duluan," ujarnya seraya menarik lengan baju Faruq.

"Sabiya, selamat ya."

Sabiya mendongak, melihat raut wajah laki-laki itu. Faruq berlalu, wajahnya penuh tanya dan kesedihan. Orang yang mengiriminya CV sebanyak dua kali, bahkan masih sering menanyakan tentangnya pada Rais. Apa Sabiya sudah salah dalam menentukan? Saat ini perasaan menjadi semakin tidak tenang.

"Lho, Nak, kamu kenal laki-laki tadi?" tanya Ibu.

Deg. Sabiya tidak menyangka calon mertuanya akan bertanya hal itu. Ia menatap ke depan, namun Daris melihat ke arah lain. Tatapannya terlihat kosong.

"Yas," panggil ibunya.

"Ah, Ma. Laki-laki tadi itu Faruq, kemarin aku pernah ngisi acara bareng dia di kampus Sabiya," ujarnya.

"Laki-laki tadi kayaknya kenal Sabiya."

Kali ini Daris menatap ke arahnya. Berarti tadi dia memang tidak mendengarkan.

"Apa benar kenal?" tanyanya.

Sabiya mengangguk. Sebenarnya dia bingung harus bilang apa, tapi Sabiya tahu sekarang atau pun nanti dia harus tetap cerita. "Kak Faruq itu adik dari ustazah Fatimah, kenalan saya. Beliau sempat mengajak taaruf dua kali, meski pada akhirnya tetap saya tolak."

Hening. Tidak ada yang bersuara selain alunan murattal dari kafe. Kafe ini dipilih Daris salah satu alasannya karena ini, tidak ada alunan musik seperti tempat-tempat lainnya, melainkan alunan kalam Allah.

"Wah, masyaAllah. Dunia sangat sempit, itu memang benar ya." Ibunya bersuara memecah keheningan. "Yas, kamu gak mau menjelaskan tentang Annisa juga?" tanyanya.

"Eh?" dia tertegun, sedangkan Sabiya menatap heran. "Mama saja yang jelaskan, toh aku memang ndak ada apa-apa sama dia."

Kali ini giliran Sabiya yang bersiap mendengarkan. Sebenarnya pikirannya sudah bercabang kemana-mana, namun mendengar penjelasan langsung itu lebih baik dibanding terus berasumsi.

"Annisa itu anak ustaz Royyan, teman papanya Yassar. Dulu Yassar sempat kami jodohkan dengannya, tapi dia tetap menolak, katanya sudah ada perempuan lain yang sedang diperjuangkan." Ibu menatap, menggengam tangannya. "Siapa sangka ternyata perempuan yang dimaksud saat ini berada di hadapannya."

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang