Seventh Reason

4.5K 324 17
                                    

Rida menyodorkan sekotak tissue ke hadapan Sabiya. Tangisnya sudah mulai mereda. Namun, sesenggukannya masih tersisa. Rida terkejut ketika kembali dari warung dan mendapati Sabiya dalam keadaan menangis.

Rida menyimpan pertanyaan "kenapa"-nya. Dia tahu kalau bertanya pun Sabiya tidak akan menjawab. Sabiya tertutup untuk beberapa hal. Gadis itu seringkali menjawab "Gak apa-apa", di saat dia tidak ingin menjelaskan alasan yang mendasarinya.

"Mau beli makaroni di Geger Kalong?"

Rida membuka obrolan dengan menawarkan jajanan kesukaan Sabiya.

"Atau lumpia basah di Ledeng?" tawarnya lagi.

Tidak ada jawaban, hanya gelengan kepala yang menegaskan ketidakmauan.

"Aku mau pulang."

Satu kalimat itu yang terucap. Sabiya membereskan tasnya.

Dengan cekatan Rida menahan tangan Sabiya.

"Kamu mau pulang?!" setengah berteriak, Rida tahu kadang Sabiya keras kepala dan sulit dimengerti

"Dengan keadaan kamu yang kayak gini? Kamu gila ya, Bi. Orang-orang bisa merhatiin kamu nanti."

Langkahnya terhenti. Sabiya kembali duduk di tempat semula.

"Seengaknya kamu ke air dulu, kek. Cuci muka, biar gak terlalu kelihatan."

Solusi efektif. Sabiya langsung keluar menuju kamar mandi yang letaknya di samping kamar kos.

Mencuci muka, bukannya membersihkan air matanya. Namun, air mata itu malah mengalir kembali bersama kucuran air. Ada yang terasa sakit di bagian dalam tubuhnya. Sabiya tidak tahu perasaan macam apa itu. Namun, rasanya teramat sakit. Sabiya menepuk pelan dadanya beberapa kali, sayangnya sakit itu masih terasa seiring tetesan air mata.

"Biya, jangan pingsan di dalam kamar mandi, ya!"

Rida mengetuk pintu karena khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan.

Astagfirullah.

Sabiya terus mengulangnya dalam hati, hingga perlahan ketenangan mulai berhasil mengusir rasa sakit yang sebelumnya datang.

"Udah, tuh. Aku pulang, ya," ujar Sabiya ketika membuka pintu kamar kos. Terlihat Rida sedang merapikan bantal yang tercecer.

"Yakin pulang sekarang?" tanya Rida memastikan.

"Iya lah, udah mau Isya juga," katanya.

Sabiya mengambil tas di dekat lemari. "Udah, ah."

Menyalami Rida, Sabiya mengucap salam dan menutup pintu.

Sabiya masih mengulang kalimat istigfar di dalam hatinya. Sungguh, rasa itu kadang membuat perasaannya lepas kendali.

▲▽▲

Sabiya menekuri layar kecil di tangannya. Selesai murajaah dia tidak keluar kamar sama sekali. Biasanya dia akan keluar untuk menonton televisi atau sekadar mengganggu Rais. Namun, kali ini dia lebih memilih menatap serentetan kalimat yang tertera di layar ponselnya. Dua pesan itu masih saja dibacanya berulang kali.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang