Thirty Two

2.2K 245 38
                                    

Aroma khas menyapa indra penciuman. Sudah lama dia tidak menginjakkan kaki di gedung dengan dominan cat warna putih. Koridor rumah sakit masih terlihat seperti sebuah lorong seram yang sering ia lihat di film-film horor. Beberapa pengunjung terlihat duduk di ruang tunggu, dengan ekspresi wajah yang beragam. Tak jarang ia menemui anak-anak berlarian diikuti orang dewasa yang mengejarnya.

Sabiya melihat sekeliling, ditemani Rais yang berjalan di samping kanan. Mereka sampai dikira pasangan oleh perawat yang mengantar ke ruang rawat ibunya. Selama itu juga dia menjelaskan tentang hubungannya dengn Rais. Hal itu membuat Sabiya mencetuskan sebuah ide, agar kakaknya itu cepat-cepat mencari tulang rusuk. Atau mungkin dia yang harus cepat-cepat ditemukan oleh tulang punggungnya?

Perempuan itu menggeleng. Lagi-lagi selintas bayangan seorang lelaki melewati alam pikiran. Masih dengan bayangan orang yang sama, sama sekali tak berubah.

"Kenapa, Dek?"

"Gak kenapa-kenapa," jawabnya seraya tetap melanjutkan langkah.

Mereka mengikuti seorang perawat yang berjalan santai di depan, dengan pakaian serba putih dan topi seperti perahu terbalik di atas kepala. Tangannya memegang sebuah papan berisi lembaran kertas data. Apakah akan jadi seperti itu jika dulu Sabiya memilih kuliah di jurusan keperawatan? Memikirkannya saja dia tidak mau.

Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu bertuliskan Ruang Melati. Sebelum meninggalkan mereka, perawat mengatakan kondisi ibu Sabiya sudah semakin baik dibandingkan hari-hari sebelumnya.

Perlahan Sabiya menyentuh gagang pintu. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan, hingga terdengar decitan pintu. Di sana terlihat Ibu sedang duduk di atas ranjang, Bapak yang berada di kursi sampingnya, keduanya tengah mengobrol. Dan adiknya yang sedang bermain di lantai. Kegiatan mereka terhenti ketika Sabiya mengucapkan salam. Seluruh pandangan tertuju padanya, binar bahagia yang terpancar membuat air mata tak terasa luruh begitu saja.

"Ibu, Bapak," ucapnya seraya memeluk keduanya bergantian.

Jarak dan waktu membuat rindu semakin terasa. Intensitas bertemu yang tidak lagi sesering dulu, tentu membuat momen ini menjadi lebih istimewa.

Sabiya duduk di dekat kedua orang tuanya, menanyakan kondisi Ibu. Setelahnya mereka bertukar cerita. Sabiya terus menerus memberitahu tentang keadaannya selama di Malang. Menceritakan bagaimana rutinitas kuliah dan kegiatan bersama teman-teman baru.

Hari ini senyuman di bibir seolah tak henti mengembang. Bahagia itu terus terasa, sebab bisa berkumpul lagi bersama keluarganya. Jadi begini rasanya jauh dari orang tua, ketika bertemu ada rindu yang terlampiaskan.

"Is, ngapain diam disitu?" tanya Bapak.

Sabiya menoleh ke belakang, ternyata Rais masih berdiri di depan pintu. Dia tertawa, kemudian berjalan menghampiri.

"Habisnya gak mau ganggu nih," ujarnya seraya duduk setelah menyalami kedua orang tua Sabiya.

"Ibu sehat, Is?" tanya Ibu.

Rais mengangguk. "Sehat, Bulik. Tapi sering ngeluh karena Sabiya gak ada. Katanya gak ada teman bergosip."

Terdengar tawa, namun Sabiya merengut ketika mendengar itu. Sejak kapan dia senang menggosip, lagipula itu hanya sekadar bercerita dengan Budenya. Rais terlalu berlebihan. Akhirnya mereka menghabiskan waktu untuk saling bercengkrama dan berbagi kisah. Sudah lama suasana seperti ini tidak Sabiya rasakan.

*

Laki-laki itu terlihat gelisah sejak berdiri di depan sebuah bangunan. Dia sudah berada di sana sejak satu jam yang lalu, mengamati setiap perempuan yang berjalan melewatinya, berharap dapat menemukan sosok yang dicari.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang