Thirty Sixth

1.7K 244 37
                                    

Laki-laki itu berdiri di sudut ruangan, ponsel menempel di kuping kanan. Setelah meminta tolong pada panitia untuk memanggil Sabiya, dia langsung menghubungi orang tuanya.

"Aku sudah ketemu sama orangnya, Pa. Iya, seperti yang dibayangkan, dia hadir di acara tadi. Ini baru mau mengobrol dengannya, dia sudah menunggu di depan. Doakan ya, Pa. Iya, Mama juga. Doakan yang terbaik."

Dia menyimpan ponsel setelah mengakhiri perbincangan dengan orang tuanya.

"Yas, sekarang?" tanya Nizar.

Yassar mengangguk. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Dia sedang memikirkan bagaimana cara memulai, bagaimana mengatakan bahwa dia adalah Daris yang selama ini Sabiya kenal.

"Yas, ayo," ajaknya lagi. Nizar heran bagaimana bisa temannya memiliki kisah yang teramat rumit seperti ini.

Yassar mengintip dari celah pintu, perempuan itu ada, duduk di kursi bersandar pada dinding. Dia menarik naps panjang sebelum benar-benar keluar dan menemui Sabiya.

B

ismillah.

Yassar melangkah keluar, diikuti Nizar yang terlihat tak sabar.

"Assalamualaikum."

Sapaan pertama berhasil dilontarkan. Tanpa dia duga kalau Sabiya akan mendongak hingga tatap mereka bertemu sesaat.

"Maaf panitia, bisa tinggalkan Sabiya? Saya perlu bicara berdua dengannya." Yassar berdeham, "Maaf, maksudnya bertiga dengan teman saya."

Sabiya menolak, dia tetap ingin ditemani. Namun setelah menjelaskan kondisinya, akhirnya dia setuju.

Sebelumnya Yassar sudah meminta izin untuk memakai ruang perpustakaan. Dia tidak ingin obrolan pribadi ini nantinya malah menjadi konsumsi publik.

Setelah berpindah tempat. Yassar menoleh pada Nizar yang duduk di sampingnya, temannya itu hanya tersenyum dan memberi isyarat untuk segera memulai. Dia menoleh ke samping kiri dimana terdapat hijab yang menghalangi pandangannya untuk melihat Sabiya secara langsung.

"Assalamualaikum," Yassar mengulang salam. Namun belum terdengar jawaban. "Apa kabar, Biya?" lanjutnya.

Hening. Apa perempuan itu masih ada di sana?

"Waalaikumsalam." Jawaban dengan suara rendah itu sampai pada pendengarannya. "Alhamdulillah baik."

Yassar mengangguk. "Maaf tiba-tiba memanggil kamu. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Bi, apa selama ini kamu gak sadar siapa saya?" tanyanya.

Lagi-lagi hening. Namun tak berapa lama terdengar suara, "Kamu ... Dhabith," jawabnya.

Yassar tidak bisa menahan tawa. Itu adalah jawaban yang benar, tapi kenapa bisa selama ini Sabiya tidak menyadari dirinya.

"Hei, Bi. Perkenalkan, nama saya Dhabith Daris Muyassar. Selama ini kamu kenal saya sebagai Daris. Bi, Daris dan Dhabith adalah orang yang sama, itu saya."

Yassar memberikan pengakuan secara singkat. Entah kenapa kali ini hening cukup lama. Sampai dia harus memanggil Sabiya beberapa kali, hingga terdengar suara lirih.

"Daris?"

Kata-kata itu lebih mengacu pada sebuah pertanyaan. Tentu Yassar sangat mengerti, pengakuannya sangat tidak masuk akal, cerita panjang di balik semua ini akan menyita waktu yang lama. Yassar sadar, dia dan Sabiya tidak tidak mengetahui rupa masing-masing. Sampai pda akhirnya Yassar sendiri yang diberi kesempatan untuk mengetahui rupa Sabiya lebih dulu.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang