Fourteenth Reason

3.6K 310 12
                                    

Gemericik hujan masih mendominasi dalam keheningan. Bandung sedang musimnya diguyur hujan. Waktunya selalu sama, setiap bakda Asar langit mulai mendung dan perlahan tiap tetesannya siap membuat genangan di jalanan berlubang.

Kata orang, hujan itu 1% air dan 99% kenangan.

Gadis di balik kaca mobil menarik sudut bibirnya, ketika teringat kata-kata yang dia jumpainya di salah satu akun media sosial.

Ungkapan itu ada benarnya juga. Ketika memandangi tetesan air yang jatuh berulang kali, seolah memutar kenangan yang sejatinya ingin disembunyikan. Tidak untuk dilupakan, karena hal itu terlalu berharga jika dilupakan begitu saja. Hanya sekadar ingin disimpan di dalam jurang pikiran, agar tak terangkat ke permukaan di waktu yang tidak tepat.

Ternyata datang ke undangan pernikahan bisa menghabiskan cukup banyak waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk beristirahat. Sebenarnya bukan datang ke undangannya yang membuat lama, bahkan hingga berjam-jam. Tapi, budaya temu kawan-kawan yang selalu menyita waktu. Apalagi kalau bertemu dengan teman-teman satu kampus. Sabiya heran, padahal mereka masih bisa bertemu di kampus, tapi semua terlihat layaknya acara reuni.

Kalau tahu akan begini jadinya, seharusnya tadi gadis itu menolak saja ketika Rais mengajaknya pergi. Namun, seperti pepatah lainnya, bahwa penyesalan selalu datang di akhir. Untuk hal ini Sabiya memang setuju, tapi dia punya tambahan tersendiri.

Meski selalu ada penyesalan. Tetap ada hikmah yang terselip dalam setiap kejadian yang dialami, juga keputusan yang diambil. Kalau saja bisa sedikit lebih sabar dan teliti, maka nikmatnya hikmah di balik semua itu akan terasa.

Meski saat ini ada penyesalan karena waktu istirahatnya terganggu. Namun, hikmah yang didapat juga tak kalah nikmat. Bisa makan gratis dan wisata kuliner, misalnya. Hal yang tidak akan didapat hanya dengan berdiam diri di rumah.

Mobil yang ditumpangi Rais dan Sabiya masih betah berdiam diri di tengah jalan. Hanya sesekali melaju, lalu berhenti. Tentu saja hal ini bukan yang mereka inginkan,  melainkan tuntutan kemacetan yang masih melanda kota kembang.

"Dek mau makan dulu gak? Macetnya masih panjang, nih. Mas lapar."

Menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya, Rais mendapati bola mata setengah bulan itu menatap lurus ke depan. Sepertinya tidak mendengar apa yang diucapkannya tadi.

"Dek," panggilnya sekali lagi.

Barulah kali ini gadis itu menoleh. Mengalihkan pandangannya pada sumber suara, yang ternyata sedang menatap dengan segaris kerutan di dahinya.

"Eh, ada apa?"

Garis kerutan yang sama nampak di dahi gadis dengan kerudung dusty pink yang menutup kepalanya. Seolah tatapannya memancarkan sebuah tanda tanya di depan layar pandangan.

"Mas tadi ngajak makan. Lapar ini. Macetnya masih panjang kayaknya."

Rais mengulang ucapannya dengan kata yang sedikit berbeda, tapi memiliki arti yang serupa.

Gadis itu terkekeh. Menatap lekat pada laki-laki yang selama ini sudah menjadi kakak sedarahnya secara tidak langsung.

"Gak salah dengar, nih? Kita kan baru aja dari undangan teman Mas, baru perasmanan, udah lapar lagi?"

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang