Forty First

1.5K 150 16
                                    

Semerbak wangi buah mangga menggelitik indera penciumannya. Sudah lama ia tidak menginjakan kaki di pasar untuk sekadar membeli kue basah atau jajanan lainnya.

"Cil, aku ke sana dulu ya," ujarnya seraya menunjuk pedagang mangga.

Perempuan di sampingnya itu mengangguk. Sabiya berjalan menghampiri buah mangga segar yang sedari tadi menarik perhatiannya.

Hari ini Ashila yang menjemputnya di stasiun. Sebelum kembali ke asrama mereka memutuskan untuk membeli bahan makanan dan juga stok buah-buahan—ini kerjaan Sabiya—dia suka sekali buah.

"Assalamualaikum, Mbah," sapanya ketika sampai.

Di hadapannya berdiri seorang bapak yang usianya sudah tidak lagi muda, namun entah bagaimana beliau terlihat masih kuat untuk berdagang. Bukan sekali Sabiya datang ke pasar ini, dan menjadi pelanggan setia Mbah Sarip sejak datang ke Malang. Mbah ini selalu ditemani oleh istrinya, Mbah Ratmi. Satu hal yang Sabiya suka, pasangan di hadapannya ini benar-benar kuat, sabar meski harus berlama-lama di pasar menanti pembeli.

Mbah Sarip ini beda dari pedagang-pedagang buah yang lain. Selain ramah, beliau seringkali mendoakan para pembeli. Sekedar mengucapkan terima kasih sudah membeli dagangannya, dilanjutkan dengan kata-kata baik yang selalu berhasil menyentuh hati Sabiya. Sepertinya hal ini juga dirasakan pembeli lain, sehingga banyak dari mereka yang akan kembali lagi, dan rasanya tidak pernah sepi.

"Waalaikumsalam. Loh eh, cah ayu ini dari mana saja toh. Sudah lama Mbah tidak lihat," jawab Mbah Ratmi.

Sabiya mendekat dan mencium tangan Mbah Ratmi, beliau sudah seperti nenek sendiri baginya. Dan Mbah Ratmi akan selalu menyambutnya dengan senyum sumringah ketika datang untuk membeli.

"Aku habis pulang ke Bandung, Mbah. Kemarin Ibu sakit, jadi harus pulang."

"Walah ada Sabiya, iki si-Mbah loh nanyai kamu terus, katanya ditunggu kok tidak pernah datang lagi. Sampai sudah disiapkan mangga, dikereseki." Mbah Sarip berkata seraya memilih mangga untuk pembeli.

Duh, Sabiya benar-benar terharu. Mbah Ratmi selalu bilang kalau melihat Sabiya itu mengingatkan pada cucu-cucunya.

Sabiya memberikan oleh-oleh yang disiapkannya dari Bandung. Benar saja, wajah keduanya sangat bahagia dan berterima kasih. Allah... padahal seharusnya Sabiya lah yang harus beeterima kasih kepada mereka, banyak pelajaran yang didapat hanya dengan melihat.

"Mbah, Sabiya beli mangga seperti biasa ya. Ini uangnya."

"Ndak usah cah ayu. Ini Mbah kasih buat kamu," ujar mbah Ratmi.

Sabiya tidak enak hati, sudah sering mbah Ratmi memberinya tambahan mangga ketika membeli. Dan sekarang malah digratiskan. Namun, pada akhirnya dia tetap memberikan uangnya dengan dalih sama-sama berbagi rezeki.

Mbah Sarip menyerahkan satu keresek. "Terima kasih sudah beli buah mangga di sini. Semoga dengan makan ini jadi kekuatan untuk nak Sabiya dalam menjalani ibadahnya."

"Sama-sama, Mbah. InsyaAllah. Terima kasih banyak ya, Mbah. Mbah berdua sehat-sehat, nanti aku datang ke sini lagi," katanya seraya pamitan menyusul Ashila yang sudah menunggu.

Sabiya berjalan melewati kerumunan orang. Dia paling tidak suka suasana seperti ini, berdesakan. Padahal tadi tidak terlalu ramai, tapi saat ini sudah banyak yang datang.

Matanya berhenti pada satu titik, tepatnya seseorang di seberang jalan. Apa dia tidak salah lihat, bukankah itu Faruq? Sekilas dia jelas melihat wajah laki-laki itu, tapi sedang apa Faruq di sini.

Sabiya segera melanjutkan langkahnya ketika Ashila memanggil. Apa ini, kenapa tiba-tiba saja dia memikirkan hal yang tidak seharusnya dipikirkan.

▲▽▲

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang