Eight Reason

4.3K 354 7
                                    

Salman melongok ke ruangan kelas tiga. Niatnya untuk melihat Sabiya datang atau tidak setelah diminta untuk membantunya mengajar di kelas tiga. Namun, gadis itu tak didapatinya. Dia naik ke atas ke kelas lima. Ada Faith yang sedang menulis di white board.

"Ith," panggilnya. Faith menoleh, spidol hitam terhenti di papan tulis. "Sabiya kemana?" tanyanya.

Faith mengerutkan dahi. Dia menutup spidol dan menyimpannya di meja, menghampiri Salman yang berdiri di dekat pembatas.

"Kenapa emang?" Faith balik bertanya.

"Gak kenapa-kenapa, Ane gak lihat dia aja hari ini," jawab Salman dengan nada yang dibuat sebiasa mungkin.

Faith mencium bau-bau ada yang tidak beres. "Sabiya setiap hari Senin gak bisa ngajar, soalnya ada kegiatan mentoring," tutur Faith membuatnya mengangguk.

Setelah Salman menghilang di balik tangga. Faith kembali melanjutkan aktivitas menulisnya. Tangannya menuliskan setiap kalimat di papan putih, tapi pikirannya menuju tempat lain.

"Kak Faith, itu apa," tunjuk Yaksa pada papan tulis. "Orang sabar akan mendapatkan Rida. Maksudnya Teh Rida?" tanyanya.

Faith melihat tulisannya. Setelah sadar, dia buru-buru menghapus dan menggantinya. "Bukan, bukan. Ini maksudnya mendapatkan pahala," kilahnya.

Tawa pecah diiringi suara "cie, cie," dari anak-anak.

"Udah, udah. Ayo nulis lagi," titahnya. Faith menggeleng, bagaimana bisa dia sampai salah menulis begitu.

Salman kembali turun dan menuju kelas satu, di sana ada Rida yang notabenenya adalah sahabat Sabiya.

Salman menunggu Rida. Dia mnuliskan beberapa materi pelajaran di kelas tiga. Sambil mengajar, laki-laki itu tak hentinya memandang ke kelas sebelah. Takut kalau Rida keburu pulang tanpa dia ketahui.

Salman sudah empat tahun mengajar di Al-Hikmah sama dengan Faith. Saat ini sedang menyusun skripsi dan mencari calon istri—katanya. Bagaimana tidak, usianya sudah cukup untuk berumah tangga. Hanya saja dia belum menemukan yang "Pas", sampai Sabiya datang.

Sudah pukul lima sore, waktunya semua murid pulang. Terdengar lantunan doa dari setiap kelas, hingga ucapan salam serentak.

"Rida," panggilnya. Salman menghampirinya yang masih membereskan bangku di kelas.

"Kenapa, Kak?" tanyanya setelah selesai.

"Mau tanya," ucapnya ragu. "Boleh?" Salman terlihat sedikit serius.

"Tanya aja," jawabnya.

Rida izin untuk menyimpan daftar hadir dan buku pelajaran ke kantor sebelum kembali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan Salman.

Tidak ada basa-basi, Salman langsung menanyakan pada intinya. Hal yang mengganggunya sejak kemarin pagi.

"Sabiya ...." ujarnya menggantung. Rida mengamati Salman dengan serius. "Dia punya pacar?" tanyanya.

Rida terlihat menahan tawanya, tidak sopan juga kalau tertawa di depan seniornya. "Enggak, Kak," jawabnya masih tetap menahan tawa.

"Beneran? Kemarin saya lihat dia lari pagi sama cowok," ucapnya. "Ganteng sih, tapi—" Salman mengalihkan pandangannya, omongannya dipotong saat belum selesai.

"Oh, cowok ya? Tinggi 'kan? Matanya agak sipit-sipit gitu?" tanya Rida memastikan.

Salman mengangguk, "Itu pacarnya, ya?"

Rida tidak bisa menahan tawanya lagi. "Maaf, maaf," ujarnya. "Itu mah bukan pacarnya, Kak. Itu sepupunya," jelas Rida.

Salman merasa sedikit lega, tapi tetap saja ada yang mengganjal pikirannya. "Tapi kok kelihatannya deket banget, ya. Bukannya sepupu itu bukan mahram," tuturnya.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang