Forty Third

1.7K 124 11
                                    

Seminggu berlalu, waktu memang terasa berjalan begitu melesat. Terlalu cepat, sampai perasaan dag-dig-dug dan berbagai pikiran mendominasi di dalam dirinya.

Sabiya berhasil mengerjakan soal-soal ujian meski ada beberapa yang ia kosongkan. Sengaja, memang benar-benar tidak tahu jawabannya. Cukup bikin kepala pusing dan otak mikir keras, bagi seorang Sabiya yang tidak memiliki basic kebahasa-Araban. Kalau bukan karena sayang sudah hampir mencapai tahap akhir, dia akan lebih memilih untuk pindah jurusan.

Tapi tidak apa-apa. Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Apa yang dialaminya saat ini adalah takdir terbaik yang sudah Allah berikan, tidak ada alasan lain untuknya terus-menerus mengeluhkan segala kesulitan yang pernah dihadapi. Toh ternyata tidak terlalu buruk juga, pada akhirnya dia bisa melewati hal-hal sulit itu.

Hari ini dia bersiap untuk mendatangi seminar, seperti permintaan Daris saat di stasiun. Dia juga mengajak Ashila untuk menemaninya. Itu pun dengan setengah memaksa, karena awalnya perempuan itu tidak mau pergi dengan alasan malas dan mau rebahan saja. Sabiya bisa saja pergi sendiri, tapi dia mau temannya ini juga ikut datang biar tidak terus malas-malasan di asrama.

"Cil, ayo cepat," ujarnya yang menunggu di luar kamar. Sabiya berjalan untuk mengambil sepatu yang terletak di rak dekat pintu keluar.

"Sa, malas banget ini sebenarnya. Jam segini itu lagi enak-enaknya tiduran sambil nonton film." Ashila berjalan pelan ke arahnya, benar-benar sudah dikurung rasa malas nih.

"Jangan gitu dong, Cil. Kita harus memanfaatkan masa muda kita dalam mencari ilmu. Datang ke seminar ini sama saja dengan mencari ilmu 'kan," ujarnya tak mau kalah. Dia akan terus memberikan petuah-petuah lainnya jika Ashila masih merasa terpaksa.

Pada akhirnya mau tidak mau tetap saja perempuan itu mengikutinya, meski gerutuan masih terdengar, setidaknya sudah lebih mendingan dibanding pertama kali dia mengajaknya.

Memang benar, masa muda harus di manfaatkan dengan sebaik mungkin, karena tidak akan ada masa muda untuk kedua kalinya. Jika saat ini dihabiskan hanya untuk bermain-main saja, bisa jadi masa tua nanti justru harus bersusah payah dan bekerja keras.

Sabiya melirik Ashila yang berjalan di samping kirinya. Perempuan itu dari tadi hanya diam saja, dilihat-lihat wajahnya seperti masih mengantuk. Dia sengaja menyenggol lengannya untuk menyadarkan Ashila.

"Jalan yang benar, nanti kalau jatuh baru tahu rasa kamu."

Ashila mengiyakan. Dia lalu mengambil ponsel di dalam saku rok hitamnya. "Sa, foto yuk. Belum pernah foto bareng nih," katanya seraya mengangkat ponsel yang menunjukkan wajah mereka berdua.

Sabiya tersenyum menatap layar ponsel temannya. "Tumben-tumbenan," ujarnya setelah Ashila mengambil satu potret wajah mereka.

"Kamu kan cuma satu semester saja di sini, nanti gak kerasa deh kamu udah balik ke Bandung lagi."

Sabiya jadi ingat dia belum memikirkan satu hal. Bulan depan ketika dia sudah menikah dengan Daris, dia tidak mungkin akan tetap tinggal di asrama. Jika dihitung dari bulan depan, maka tinggal satu atau dua bulan lagi masa perkuliahannya di sini.

"Cil, aku nikahnya bulan depan. Setelah itu kayaknya aku gak bakal tinggal di asrama."

Ashila menghentikan langkahnya. Dia menatap dengan pandangan bingung sekaligus kaget. "Serius kamu? Aku kira kamu baru nikah setelah perkuliahan di sini selesai. Emang nanti kamu mau tinggal dimana? Calonmu itu orang mana sih?" tanyanya penasaran.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang