Forty

1.7K 153 15
                                    

Malam kemarin menjadi hari yang tak terlupakan. Akhirnya, setelah sekian lama dia memberanikan diri memberi kepastian kepada seseorang yang selama ini dia kenal.

Daris. Nama yang dia kenalkan pada seorang perempuan yang memenangkan hatinya. Sabiya, sosok yang awalnya hanya ia kenal dengan bertukar pesan. Kemudian ia sadar ketika bertemu di masjid tempatnya mengisi acara. Hingga saat ini perempuan itu berada di sampingnya—tepatnya di seberang kursinya, terhalang oleh seorang ibu paruh baya.

Daris tidak menyangka ternyata hari ini Sabiya menaiki kereta yang sama, di jam yang sama bahkan di tempat duduk yang jaraknya cukup dekat. Dia butuh waktu untuk berpikir, apa lagi rencana Allah yang tidak dapat diduga setelah malam kemarin dia meminta perempuan itu menjadi istrinya.

Sekelebat bayang-bayang masa lalu tentang bagaimana awal mula dia dekat dengan Sabiya tiba-tiba muncul. Seorang perempuan yang dengan lembut menjawab setiap pertanyaannya, padahal selama ini orang disekitarnya selalu enggan menjawab.

"Yas, kok malah melamun?" suara Mama menyadarkannya.

Daris menggeleng. "Ndak apa, Ma."

Papa terlihat lelah, tidur bersandar pada Mamanya. Sedangkan Daris duduk dengan Nizar.

"Palingan mikirin orang sebelah tuh, Tante," kata Nizar yang kemudian mendapat sikutan kecil di tangannya.

Mama tertawa, kemudian mengambil tas berisi roti dan susu.

"Nak Biya," panggilnya.

Daris melotot, sedangkan Mama tidak memedulikannya.

Daris melihat dari sudut matanya kalau perempuan pemilik nama itu menoleh.

"Yas, kasihkan ini, Mama gak sampai," ucapnya.

"Ma," rengeknya.

Mama tertawa, pun dengan Nizar. Hal itu membuat Papanya terbangun.

"Ada apa ini? Kenapa kalian tertawa?" tanyanya.

Daris menceritakan apa yang baru saja terjadi. Roti dan susu itu masih ada di tangannya, sedangkan perempuan di seberang sedang menatap layar ponsel.

"Biar Papa yang berikan," ucapnya seraya mengambil makanan dari tangan anaknya.

Papa mengulurkan tangan. "Sabiya, ini dimakan, Nak. Dari mamanya Yassar," ucapnya.

Meski terlihat ragu, Sabiya mengambilnya.

"T-terima kasih, Pak," ujarnya.

Ah, senyuman itu membuat detak jantungnya tak karuan. Mama ini bisa saja menyudutkan puteranya.

"Kamu harus mulai menyiapkan semuanya, Yas. Nanti mau tinggal dimana dulu setelah menikah, pendapatan dari mana saja, dan kalian juga masih kuliah beberapa bulan lagi 'kan? Itu mau bagaimana," ujar mamanya setelah beberapa saat.

"Iya, Ma."

Dia tau, lambat laun hal seperti ini pasti harus dipikirkan. Sebab dia tidak bisa terus mengandalkan kedua orang tuanya. Daris harus bisa hidup mandiri, ada orang yang menjadi tanggungannya kelak, seorang istri, dan mungkin anak-anak. Yah, membayangkannya memang selalu mampu membuat tersenyum.

"Annisa bagaimana, Yas?" tanya Papa.

Daris menatap papanya, rasanya sudah bosan menjelaskan berkali-kali bahwa dia sama sekali tidak ada perasaan apa-apa pada perempuan itu. Dia juga sudah menegaskan bahwa ada perempuan lain yang sedang diperjuangkan, Daris yakin Annisa bisa memahami hal itu.

Papa mengangguk. Daris tahu betul kedua orang tuanya khawatir dan merasa tidak enak karena hubungan mereka dengan orang tua Annisa. Tapi pernikahan tidak bisa hanya didasarkan atas persahabatan orang tua.

Sabiya: Terima kasih roti dan susunya, sampaikan pada ibumu.

Satu pesan itu membuat Daris menoleh, tapi perempuan itu sedang asik menatap langit malam lewat jendela. Sesaat dia merasa sedang diperhatikan, ah mungkin hanya perasaannya saja.

"Yas, ada panggilan acara lagi nih untuk minggu depan."

Nizar memberikan ponsel yang berisi sebuah undangan, lebih tepatnya sebuah permintaan untuk menjadi pembicara di sebuah acara seminar. Letaknya di Universitas Negeri Malang–lagi. Tentu dia tidak akan menolak, setidaknya ini bisa menjadi salah satu jalan ikhtiar untuk mempersiapkan pernikahannya yang hanya satu bulan lagi.

"Acc, Zar," balasnya tanpa ragu.

"Duh yang lagi mencari modal," sindirnya.

"Biar saja, sebentar lagi aku menggenapkan yang separuh. Kamu, bagaimana?" ujarnya seraya tertawa.

Nizar tidak menjawab, tapi ekspresi wajahnya cukup menjelaskan kalau dia kalah telak.

🍀

Pukul delapan pagi kereta yang ditumpanginya sampai di stasiun Malang. Daris dan kedua orang tuanya mengajak Sabiya untuk pergi bersama, namun perempuan itu menolak, katanya dia harus segera pergi ke asrama untuk menyimpan barang-barang, setelah itu dia harus segera pergi ke kampus untuk mengurus ujian yang tertinggal. Nizar sudah pulang beberapa menit lalu mnggunakan ojek online.

"Nak, benar gak mau diantar?" tanya Mama untuk memastikan.

"Iya, Bu, gak apa. Biya dijemput Ashila kok, teman seasrama. Dia sudah di jalan," jawabnya. "Tapi terima kasih banyak atas tawarannya."

Mama mengangguk dan pergi persama Papa ke dalam mobil. Sedangkan Daris justru menghampiri perempuan itu, sebentar saja katanya.

"Bi, hati-hati. Minggu depan aku jadi pembicara seminar di kampusmu, kalau tidak ada acara sempatkan datang, ya," ujarnya lalu mengucap salam dan pergi menyusul orang tuanya.

Dari kejauhan dia melihat perempuan itu mengangguk dan tersenyum.

Senyum yang selalu berhasil menanamkan rindu dalam dirinya.

Sebentar lagi, janji suci itu akan diucapkan untuk menyatukan yang dua.

Mari berjuang, Sabiya.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang