Thirty Fourth

2K 207 52
                                    

Entah sudah yang keberapa kali dia mengecek ponsel. Nizar sampai bosan bertanya karena mendapat jawaban yang sama. Gak ada apa-apa, katanya. Tapi tingkah yang ditunjukan justru berbeda dengan ucapannya.

Berulang kali mengecek ponsel, balasan yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Padahal jelas-jelas pesannya sudah dibaca.

Allah... Perasaannya tak karuan, dia terus beristigfar menghalau segala gelisah. Perasaan bersalah dan menyesal semakin lama semakin mendalam. Ungkapan seandainya terus berulang di dalam kepala.

Ingatannya mengulang setiap episode tentang Sabiya. Bagaimana pertama kali mereka menjadi dekat hingga tumbuh perasaan tak seharusnya. Baru kali itu dia berani mengutarakan rasa, dan dia sadar itu adalah hal yang sangat salah.

Yassar memijit pelipis. Semua pikiran-pikiran itu membuat kepalanya sakit.

Aku merindukan seorang Fatimah, tapi sikapku jauh berbeda dengan Ali. Kau pikir cinta sebelum waktunya itu nyaman? Kumohon, enyahlah wahai hati yang terlalu cepat datang. Hukuman ini sudah terlalu berat.

Diantara ujian yang selama ini pernah dia dapatkan, Sabiya adalah ujian terbesar, masalah perasaan ini yang semakin membuatnya berat.

"Zar, Zar. Nizar."

Yassar mengguncang bahu temannya perlahan. Dia butuh teman ngobrol, tidak mau semakin larut dalam lamunan yang semakin membuatnya tidak karuan.

Nizar membuka mata, masih terlihat mengantuk. Dia membenarkan posisi duduknya.

"Kenapa, Yas?" tanyanya.

"Ayo latihan," ajaknya.

Yassar mengeluarkan secarik kertas berisi materi yang akan disampaikan besok. Memberikannya pada Nizar untuk mengecek seberapa jauh dia menguasai materi itu.

Perlahan, sedikit demi sedikit, dimulai dengan pembukaan khasnya. Dilanjut sapaan kecil pada setiap peserta yang hadir. Kemudian masuk pada inti. Yassar terus berdialog seolah-olah dia sedang berada di hadapan banyak orang. Gestur tubuh, gerakan tangan begitu jelas terlihat, seolah bukan sedang latihan.

Yassar menatap punggung kursi di depannya, tiba-tiba bayangan seorang gadis seolah tergambar jelas di sana. Padahal sedikit lagi dia berhasil menyelesaikan latihan dengan baik dan lancar, seperti biasa. Namun, kejadian tadi membuat pikirannya buyar, hingga terdiam untuk beberapa saat.

"Penutup, Yas," ujar Nizar.

Yassar menoleh, kemudian melanjutkan latihannya. Setelah selesai, dia mengambil botol minum di dalam tas. Sebentar saja, dia ingin menghilangkan rasa penasaran apakah pesannya sudah berbalas. Ternyata Sabiya belum juga membalas sampai detik ini.

"Kenapa sih, bro? Dari tadi cek HP terus, gak fokus latihan, ditanya jawabnya gak apa-apa. Ayolah, Yas, kamu bukan perempuan yang suka menebar kode 'kan."

Nizar memerhatikan teman di sampingnya. Yassar masih diam seolah tidak mendengar apa yang dia katakan.

"Yas?" panggilnya.

"Gak apa-apa, Zar. Lagi banyak pikiran aja," jawabnya.

Siapa yang sangka kalau seorang Yassar bisa begitu gelisah karena perempuan. Allah ... Tidak seharusnya, sebab cinta tertinggi hanya milik Dia.

Saat ini bukan waktunya menyesal. Kalau saja tidak menahan diri, kata seandainya banyak bermunculan di pikiran.

Seandainya dulu dia menahan perasaan dan tak mengungkapkannya terlalu dini. Atau, seandainya tak perlu bertukar kata sampai memunculkan rasa.

Yassar menggeleng. Tidak. Bukan itu yang harus dia pikirkan sekarang. Tidak ada gunanya terus menyesali keadaan yang sudah lalu, lebih baik memperbaikinya selagi bisa.

Perbaiki diri, lakukan yang terbaik. Kata-kata itu selalu terngiang.

"Yas. Sampai kapan melamun?" Nizar menepuk pundaknya. Sedari tadi Yassar terdiam dengan pandangan kosong menatap jendela kereta.

"Doakan aku ya, Zar," ucapnya.

Yassar bungkam ketika Nizar bertanya dia meminta doa untuk apa. Kalimat istigfar memenuhi hatinya.

Tenang, Yas, tenang.

Apapum yang terjadi nanti, Yassar yakin itu adalah yang terbaik dari Allah. Kenyataan yang ada mungkin saja tidak sesuai dengan harapannya selama ini. Sebab itu dia harus benar-benar menyiapkan hati.

🌸

Sabiya memandangi layar ponsel dengan cemas. Debaran jantungnya tidak teratur, sedikit membuat sesak. Sejujurnya dia benci perasaan semacam ini.

Pesan yang dikirim Daris membuatnya berpikir, kenapa laki-laki itu bisa berkata demikian. Sabiya rasa dia tidak pernah membuat status atau pengumuman apapun soal menikah. Karena pada kenyataannya kata menikah masih sekadar impian baginya.

Pesan balasan yang baru saja Sabiya kirimkan belum dibaca. Tandanya saja masih ceklis satu, laki-laki itu sedang tidak aktif whatsapp rupanya. Dengan perasaan gelisah dia menunggu, seandainya saja tadi langsung membalas pesannya, mungkin sekarang tidak perlu menunggu lama.

Astagfirullah. Tidak boleh berandai-andai.

"Ada apa, Nak?"

Suara ibunya membuat Sabiya tersadar. Dia lupa kalau saat ini sedang berada di mobil dalam perjalanan menuju rumah Bude. Rencananya hari ini keluarganya akan menginap dan besok baru akan pulang ke rumah.

"Enggak, Bu. Cuma agak ngantuk," jawabnya.

Bagaimana bisa Sabiya menceritakan tentang Daris pada ibunya. Dia bukan orang yang senang memulai pembicaraan sebelum ditanya, apalagi ini masalah laki-laki yang seringkali mengalihkan pikirannya.

"Paling mikirin cowok tuh, Bulik," celetuk Rais.

Terdengar gelak tawa disusul dengan berbagai macam pertanyaan. Sabiya hanya bisa merengut kesal atas kelakuan Rais.

Sabiya segera mengecek ponselnya ketika ada satu notifikasi masuk. Sayangnya ternyata itu bukan dari Daris, melainkan Rida yang mengajaknya lagi untuk datang ke kajian Dhabith hari esok.

Setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya Sabiya datang, toh niatnya untuk mencari ilmu. Tentang yang diceritakan Ashila, dia mencoba untuk berbaik sangka dan tidak memikirkannya terlalu jauh. Bisa jadi itu haNya sebuah kebetulan saja Dhabith bertanya soal dirinya.

Sabiya mengirim pesan balasan yang memberitahukan kalau dirinya akan ikut kajian besok.

Daripada terus menerus merasa gelisah menunggu pesan dari Daris, dia memilih mematikan ponselnya dan tidur.

Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Kenapa seolah ada yang tidak beres?

Dua kalimat tanya itu terus terngiang meski matanya sudah terpejam. Baginya, menunggu Daris adalah hal terberat yang pernah dia rasakan, ujian terhebat yang belum bisa dia selesaikan.

Lelah.

Satu kata yang sempat menggugurkan semangatnya. Sabiya tidak mau lagi berharap pada makhluk-Nya. Terlalu sakit jika nanti kenyataan tidak sesuai dengan harapan yang dibangunnya selama ini.

Untuk Daris, kuserahkan segala urusan denganmu kepada-Nya. Bismillah.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang