Forty Fourth

1.1K 144 8
                                    

Buah dari penantian tidak selalu bahagia, bisa saja berujung duka. Seperti pepatah, manusia hanya bisa berencana, Allah yang menentukan segalanya. Namun, bukan sesuatu yang tidak mungkin penantian itu berbuah manisnya kebahagiaan. Seperti yang sedang dirasakannya saat ini, penantian akan waktu yang tepat untuk menjemput seorang perempuan yang diharapkan sejak lama ternyata berakhir indah. Dia berhasil menepati janji, tentang kedatangannya di waktu yang tepat, ketika Allah sudah memantapkan dan mempermudah jalannya.

Satu langkah lagi, perempuan itu akan menjadi penggenap separuh agamanya. Pendamping di setiap waktu. Perempuan yang seringkali ia adukan kepada-Nya di sepertiga malam. Nama yang tetap terukir disertai kepasrahan diri terhadap jalan takdirnya.

Dia tidak pernah menyangka pada akhirnya bisa sampai pada tahap ini. Perempuan yang mengenalinya sebagai Daris, bukan Yassar apalagi Dhabith. Dia masih teringat betapa terkejutnya perempuan itu ketika dia mengatakan bahwa Dhabith adalah laki-laki yang selama ini dia kenal, yang pernah menawarkan sebuah komitmen di waktu yang belum matang. Namun, untungnya kesadaran itu segera datang, sehingga tidak ada bayang-bayang harapan yang terkesan dipaksakan.

Dhabith Daris Muyassar. Nama yang diberikan kedua orang tuanya ketika dia pahir ke dunia. Yassar, nama panggilan yang sudah disematkan sejak kecil. Teman-temannya pun mengenal dia dengan nama tersebut. Daris adalah nama yang sering ia gunakan ketika bersama teman-teman sosial medianya. Ya, termasuk dengan Sabiya. Perempuan yang dia kenal dari sebuah grup kepenulisan di aplikasi Line, karenanya juga dia memiliki julukan baru. Dhabith, nama yang hampir tidak pernah ia gunakan sebagai nama panggilan, kini justru banyak yang mengenalnya dengan nama itu. Seorang youtuber dakwah, motivator, dan penggiat sejarah. Hal-hal itu kini tersemat pada dirinya. Siapa sangka takdir begini jalannya, benar-benar tidak direncanakannya sejak awal.

Saat ini dia sedang mempersiapkan pernikahan impiannya. Sekitar tiga minggu lagi acara besar itu dilaksanakan. Bukan sekadar acara besar biasa, baginya ini akan menjadi momen sakral yang tidak akan pernah dilupakan. Mengikat janji suci atas nama Ilahi, itu bukanlah hal kecil banginya. Sebuah janji yang ia harapkan dapat mengantarkan mereka pada syurga abadi.

"Yas, gimana maharnya?"

Suara Mama mengalihkan pikirannya. Yasar menutup laptop, memandang Mama yang kini duduk di hadapannya.

"Sabiya bilang segimana aku, Ma. Katanya tidak mau memberatkan, orang tuanya pun bilang demikian," jawabnya.

Yassar sudah bertanya pada Sabiya perihal mahar, tepatnya lewat grup yang dibuat oleh kakaknya—Rais. Setelah perempuan itu memberikan jawabannya, ia meminta untuk menanyakan pada orang tuanya saja. Namun, jawaban keduanya sama, menyerahkan seluruhnya pada pihak laki-laki.

"Jadi, bagaimana?" tanya Mama memastikan.

"Rencananya aku mau ngasih dinar untuk maharnya, Ma." Ia mengambil ponsel dan menunjukkan gambar dari benda yang ia sebutkan tadi. "Ini. Dinar lebih pas menurutku untuk dijadikan mahar. Selain harganya gak terpengaruh inflasi, dinar juga merupakan mata uang pada zaman kekhalifahan," ujarnya menerangkan.

Mama terlihat memerhatikan cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. "Bagus. Mama juga suka, ya sudah ini saja, Yas."

Yassar mengambil ponsel dari tangan Mama. Niatnya memberitahukan hal ini kepada Sabiya, namun ucapan Mama menghentikannya. Dia menyimpan ponsel dan fokus pada wanita di depannya.

"Sekarang Sabiya lagi kuliah di sini kan? Ajak ke rumah dong, Yas. Kamu jemput dia," ujarnya.

"Mana boleh jemput, Ma. Nanti jadinya malah berdua-duaan," balas Yassar. Dia tidak mau prosesnya tidak dilalui dengan baik. Sabar, sebentar lagi juga bisa berduaan.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang