Twenty Ninth

2.7K 280 28
                                    

Cahaya remang-remang dari bohlam di ruang tengah seolah mendukung rasa kantuknya. Tugas laporan ilmiah belum juga selesai, ditambah merapikan berkas-berkas LDK yang terlalu banyak jika dikerjakan dalam waktu sehari.

Sabiya bergabung dengan LDK UM sebulan yang lalu, dia ditempatkan di bagian kesekretariatan, hal baru yang membuatnya banyak belajar. Karena ketika di UPI dia berada bidang yang berhubungan dengan kaderisasi.

Ternyata susah-susah gampang menjadi kestari. Dia harus rajin menulis hasil rapat, merapikan data-data anggota, mendata peminjaman barang inventaris dan masih banyak lagi hal lainnya yang berhubungan dengan data, termasuk surat-menyurat.

Matanya mulai lelah, bahkan sudah menguap beberapa kali. Melihat penanda waktu di laptop, menunjukkan pukul sepuluh malam.

Sore tadi ketika pulang ke asrama, Ashila menceritakan pertemuannya dengan Dhabith ketika di kantin. Sayang sekali dia tidak bisa mendapatkan kesempatan emas itu, padahal hanya selang beberapa menit, katanya. Namun, yang membuatnya penasaran, temannya itu bilang kalau Dhabith sendiri yang menghampiri kemudian bertanya tentang Sabiya. Youtober Dakwah itu kelihatannya terkejut ketika diceritakan yang sebenarnya, tentang namanya yang salah dan juga ketika tahu bahwa dirinya adalah anak SE Program.

Sabiya bersandar pada sofa, memejamkan mata untuk beberapa saat.

"Kenapa Dhabith melakukan itu?" pikirnya.

Apa mungkin untuk data pribadi. Mungkin saja Dhabith adalah orang yang senang mengumpulkan data penanya ketika dia mengisi acara, bisa jadi seperti itu. Karena Sabiya kenal seseorang yang sering menjadi pembicara, beliau senang mencatat siapa saja yang bertanya ketika acara. Katanya itu untuk kenang-kenangan saja. Sabiya rasa Dhabith juga begitu.

Tunggu. Tapi kenapa laki-laki itu harus menanyakan kembali perihal namanya? Padahal dia kan tidak tahu meskipun Sabiya salah menyebutkan nama, bisa jadi dia percaya saja pada MC dan urusannya selesai.

Sabiya membulatkan mata. Apa jangan-jangan Dhabith tahu kalau dia adalah orang yang menabraknya ketika di belokkan masjid? Gawat. Mungkin saja Dhabith akan menuntutya ke pengadilan.

Hah.

Dia mengusap wajah. Benar-benar khayalan yang tidak masuk akal. Sabiya sudah terlalu lelah untuk berpikir jernih malam ini.

"Lho, Sa. Kok masih belum tidur?"

Sabiya menoleh, Ashila berdiri di dekat pintu kamar mandi dengan wajah mengantuk.

"Pengin ke toilet," ujarnya padahal tidak ditanya.

"Masih mau ngerjain tugas."

Pikirannya kembali pada cerita soal Dhabith. Kenapa sampai bertanya-tanya tentang dirinya. Sabiya tidak mau berpikiran aneh-aneh, hanya saja tiba-tiba dia merasa penasaran.

"Chil, seriusan tadi Dhabith nanyain aku?" tanyanya ketika Ashila keluar.

"Iya, kan tadi udah diceritain. Udah ah, mau lanjut tidur. Cepat balik ke kamar, Sa. Kerjaannya lanjut besok aja," titahnya. Namun, bukan Sabiya namanya kalau menurut begitu saja.

Sudahlah. Tidak usah dipikirkan lagi, anggap saja itu hanya sebuah kebetulan. Mungin saja Dhabith sedang berjalan-jalan di UM dan tanpa sengaja bertemu Ashila di kantin. Lagi pula untuk apa Sabiya memikirkan hal seperti itu, kenal Dhabith saja tidak. Hanya menjadikannya sebagai referensi kajian sejarah.

Dia kembali mengetik tugas laporan yang harus dikumpulkan minggu depan. Namun, pikirannya sudah mentok, tidak tahu harus menuliskan pembahasan apa lagi. Lebih baik Sabiya membereskan berkas LDK lebih dulu, karena besok dia harus menyerahkannya pada ketua.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang