Eighteenth Reason

3.1K 290 17
                                    

Bangku berdecit, tepat ketika seseorang menggebraknya.

Sabiya mendongak. Sahabatnya duduk di bangku depan. Pandangannya tajam, tangannya mengepal, matanya memerah.

"Kamu kemarin kemana? Gak masuk kuliah. Di-chat gak balas. Ditelfon gak diangkat. Gak ada kabar sama sekali. Kenapa?"

Sabiya masih diam. Tidak berniat adu mulut di saat seperti ini, juga tidak ada keinginan untuk menjelaskan. Perdebatan kecil dengan Daris kemarin, cukup membungkam diri untuk mengingatnya.

Sadar, selama ini dia salah. Hijrah yang semula dianggap berjalan mulus, goyah oleh kehadiran Daris. Padahal Sabiya bisa menahan itu, awalnya. Seharusnya dia tetap menjaga, menguatkan perasaannya agar tidak jadi seperti ini. Sayangnya, pertahanan yang selama ini dibangun, runtuh dengan satu pernyataan dari laki-laki itu.

Sabiya menggila, tak seharusnya dia lepas kendali. Bayang-bayang Daris, tak seharusnya menemani hari-hari. Perlahan, penyesalan mulai menyusup. Bagaimana dia menjadi orang yang berbeda, setelah mengenal teman baru yang memiliki tempat di hatinya.

Tanpa sadar, dia membenturkan kepala ke atas meja. Air mata keluar dari sudut mata. Rasa sesal menyesakkan dada. Bodoh. Selama ini Sabiya kehilangan jati dirinya.

Seandainya, dulu dia tetap kuat mempertahankan perasaannya. Menyimpannya dalam diam. Mungkin, saat ini tak perlu ada kejadian yang terus menghantui pikiran. Seandainya, dulu dia bersikap biasa saja. Mungkin harapan tidak akan menggunung dalam benaknya.

Kata seandainya memenuhi kepala. Sabiya mengabaikan Rida yang sedari tadi menanti jawaban. Tak peduli sudah berapa banyak orang yang masuk ke dalam kelas, dia ingin menumpahkan tangisnya.

Tahan.

Tidak baik menunjukkan kesedihan di depan banyak orang, apalagi karena kebodohan sendiri. Sabiya mengatur napas, mengusap sudut matanya dengan telunjuk.

"Jadi, kenapa?"

Pertanyaan Rida masih menuntut jawaban. Sebuah gelengan tentu tidak memuaskan. Pandangannya belum terlepas, meski Sabiya tidak mengacuhkan.

"Bi, kenapa sih?"

"Apa?"

Sabiya sibuk membuka laptop di hadapan. Sengaja, untuk mengusir Rida secara halus. Saat ini dia sedang tak ingin diganggu, meskipun oleh sahabatnya. Yang ditakutkan, kalau amarahnya lepas begitu saja karena terus dipaksa.

"Pergi gih, aku mau lanjut nulis," ucapnya.

Tentu wajahnya memerah mendengar Sabiya berkata seperti itu. Rida berusaha mengesampingkan rasa kesal. Kalau tidak, perdebatan panjang akan segera terjadi.

"Ya udah. Nanti mau ke DTA gak?"

Sabiya tetap menyuguhkan sebuah gelengan. Bukan itu jawaban yang Rida inginkan.

"Kayaknya aku mau berhenti deh ngajar di DTA."

Rida diam. Menanti penjelasan selanjutnya. Namun, tiga menit berlalu, Sabiya hanya fokus pada layar laptopnya.

Telunjuknya yang mengetuk layar monitor, Rida menuntut penjelasan.

"Ya, aku mau berhenti aja. Nanti biar aku bilang sendiri."

Penjelasan yang tidak bisa diterima akal. Itu bukan sebuah alasan. Entah hanya perasaan atau memang benar. Hari ini Sabiya berubah menyebalkan.

Sabiya tidak pernah  mau bercerita tentang masalah yang dihadapinya. Dia masih saja memendam semua sendiri.

Kesedihan itu gak boleh diumbar.

Begitu kata-kata andalannya, setiap kali ditanya apa masalah yang mengganggu. Dan, saat ini tiba-tiba dia bilang akan berhenti mengajar.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang