Forty Seventh

1.4K 155 30
                                    

"Coba cek lagi nama-namanya, Mas."

"Halaman ini tadi udah 'kan, Dek?"

"Cek ulang Mas, buat memastikan."

"Rida, kak Salman, kak Faith, teh Rahmi." Sabiya terus menyebutkan nama-nama temannya satu persatu.

H-2 pernikahan.

Hari ini dia mengecek siapa saja teman-temannya yang akan hadir di hari Minggu besok. Hal ini ia lakukan untuk memperkirakan jumlah makanan. Rais membantunya menandai nama-nama yang akan hadir dan juga tidak. Mulai dari teman-teman kelasnya hingga teman di unit internal dan eksternal. Kebanyakam teman SD, SMP, dan SMA-nya tidak akan datang. Sebab, acara pernikahan dilaksanakan di rumah Pakde, bukan di rumah orang tuanya. Hal itu tentu saja atas pertimbangan kapasitas tempat dan efisiennya acara.

Sejauh ini segala persiapan sudah aman. Undangan sudah disebar sejak malam lalu ketika ia sampai di rumah. Dekorasi dan hal lainnya pun sudah dibicarakan dengan pihak WO. Hari ini mereka sudah mulai mendekor bagian dalam rumah, memasang kain untuk menutupi dinding-dinding rumahnya. Warna putih dan mocca ditambah beberapa aksen berwarna gold. Di halaman depan akan dipasang tenda dan juga pelaminan. Katanya malam ini semua dipastikan sudah selesai, sehingga besok tinggal mempersiapkan dekorasi-dekorasi kecil dan makanan untuk hidangan prasmanan. Malam ini catering harus sudah dipesan, souvenir harus sudah dibereskan, dan juga harus menyelesaikan bingkisan untuk orang-orang yang akan datang malam ini ataupun besok sebelum hari H pernikahan.

Ternyata banyak sekali hal yang harus dilakukan untuk menikah. Padahal hari pernikahannya hanya satu hari, tapi persiapannya bahkan sudah dari lama sekali. Memang benar menikah itu bukan untuk main-main, kita harus memastikan bahwa diri kita sudah benar-benar siap dan bukan hanya sekadar mau saja.

"Dek, kamu sudah kasih undangan ke Faruq?" Rais melipat kertas yang berisi daftar tamu undangan.

Sabiya menggeleng. "Belum. Gak bakal kasih juga sepertinya, tapi aku udah kasih ke ustazah Fatimah kok."

Sabiya beranjak dari tempat duduknya, "Sini, Mas," ia meminta kertas yang dipegang Rais. "Aku mau simpan ini dulu ke kamar," ujarnya kemudian meninggalkan kakaknya sendiri.

Rais menatap sosok mungil yang semakin menjauh dari pandangannya. Siapa sangka gadis kecil yang seringkali jadi bahan bercandanya itu sebentar lagi akan melepas masa lajang dan tinggal bersama laki-laki lain. Rasanya dia merasa sedikit tidak rela harus melepas Sabiya secepat ini, padahal dulu ialah yang menyuruh adik perempuannya untuk segera memiliki pasangan.

Bagaimana bisa takdir sebegitu rumitnya mempertemukan dua orang yang saling menjaga rasa. Padahal keduanya belum sempat bertatap muka pada awalnya, sampai akhirnya dipertemukan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Rais merasa takjub dengan kisah adiknya, perkenalan pertama hanya dari sebuah grup chat yang kemudian mengantarkannya pada komitmen saling menjaga tanpa kabar dan suara. Benar-benar hebat dua insan itu.

"Mas, makan dulu gih. Tuh dipanggil Bude tadi, bareng-bareng sama yang lain katanya."

Sabiya hanya datang untuk memberitahukan hal itu, setelahnya ia ikut bergabung dengan anggota keluarga lainnya yang sudah berkumpul ditemani hidangan nasi liwet yang wanginya sangat menggoda.

"Keluarga Daris jadi ke sini malam ini, Bi?" tanya Bude yang sedang mengambilkan nasi untuk suaminya.

Sabiya mengangguk. "Kemarin bilangnya begitu, insyaAllah nanti dikabari lagi kalau sudah berangkat katanya."

Tidak ada lagi yang bertanya, semua orang sedang sibuk menghabiskan makanannya masing-masing. Sabiya meneguk air di depannya, ia tidak bisa menafsirkan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Meski suasana ramai, hatinya merasa tidak tenang, cemas dan takut adalah dua kata yang paling mendominasi.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang