Forty Sixth

1K 146 12
                                    

Pukul 15.00, Sabiya sudah berada di stasiun kereta. Ia ditemani oleh Ashila setelah memenuhi syarat untuk menceritakan siapa calon suaminya. Benar dugaan Sabiya kalau temannya tidak akan percaya dengan apa yang terjadi.

Suasana stasiun tidak terlalu ramai, mungkin karena hari ini bukan weekend seperti sebelumnya. Cukup tenang dibandingkan saat kuliah di Bandung dan naik kereta lokal yang setiap harinya selalu padat penumpang.

Hari ini seperti yang sudah dijadwalkan, ia harus pulang ke Bandung, mengingat pernikahannya tinggal menghitung hari.

"Sa, sumpah ya aku tuh masih gak percaya kok kamu bisa sama Dhabith.  Masa iya gara-gara kamu nanya di seminar waktu itu?" tanya Ashila yang duduk di sampingnya. Dia tidak langsung pulang, katanya ingin menemani sampai keretanya datang.

Sabiya diam, dia memang tidak menceritakan awal pertemuannya dengan laki-laki itu, dia hanya mengatakan bahwa calon suaminya adalah Dhabith.

"Gimana ya, Cil. Ya, mungkin namanya udah jodoh ya gitu aja kali," jawabnya.

Tentu saja yang bertanya tidak terlihat puas dengan jawaban yang diberikan. Namun, Ashila tidak pernah terlalu memaksakan setiap pertanyaannya, dia orang yang cukup bisa mengerti ternyata, kadang-kadang sepertinya.

"Jadi benaran nih habis ini kamu gak tinggal di asrama lagi?"

Sabiya mengangguk. "Katanya tinggal di rumah orang tuanya dulu, setelah itu kita LDM-an, dia di sini aku di Bandung. Selama satu semester lagi lah ya terhitungnya," katanya seraya membayangkan hitungan.

"Kamu gak mau tambah semester lagi di sini, Sa? Kan nanti juga sudah menikah dan bisa lebih dekat kalau kamu tetap kuliah di sini." Ashila menyandarkan punggungnya, ia menyalakan ponsel untuk melihat penanda waktu. "Lima belas menit lagi, Sa."

Sabiya ikut menoleh. "Iya, Cil. Aku lebih milih di menyelesaikan di Bandung saja. Gak apa-apa, karena setelah itu kita berdua bakal tinggal bareng." Ia tertawa geli.

Mereka asik berbincang sampai tidak terasa waktunya tiba. Kereta yang akan membawanya pulang sudah terlihat di depan mata, beberapa orang di sekitarnya sudah beranjak untuk naik.

Sabiya memeluk temannya, perempuan yang menemaninya sejak pertama kali menginjakkan kaki di asrama.

"Sayang banget kamu gak bisa ikut, Cil," ujarnya sebelum pergi.

"Maaf ya, habisnya banyak hal yang harus kuselesaikan juga. Setelah menikah harus temui aku ya."

Dia mengangguk. "Tentu, kita kan masih satu kelas selama dua bulan kedepan."

Sabiya berjalan mendekati kereta, lambaian tangan menutup pertemuan mereka saat ini.

Menikah itu tidak semudah yang dikira, persiapannya harus benar-benar serius dan tidak bisa kalau hanya sekadar memiliki keinginan saja. Sabiya menyadari itu akhir-akhir ini, betapa mental dan keyakinannya benar-benar diuji. Mulai dari banyaknya keraguan yang dia rasakan, rasa malas untuk mengurus segala persiapan, sampai ketakutan untuk tinggal bersama dengan laki-laki yang belum benar-benar dikenalinya.

Allah... semoga Engkau terus membimbingku di jalan-Mu. Meneguhkan langkahku dalam setiap episode perjalanan kehidupan ini.

Hari ini Sabiya akan menghabiskan malamnya di dalam kereta. Perjalanannya lumayan lama, sekitar 17 jam. Jika sesuai jadwal, ia akan sampai di Bandung pukul 8 pagi.

Semoga pernikahan ini benar-benar menjadi sesuatu yang Allah berkahi. Semoga benar ini jalan terbaik dari-Nya.

▲▽▲

Ponselnya berdering lebih kencang, hal itu membuat Sabiya menepi dan duduk di salah satu kursi. Ia menutup mulutnya, rasa kantuk masih menyelimuti diri selepas turun dari kereta yang ditumpanginya.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang