Twenty Third Reason

3.5K 299 7
                                    

Hari ini Sabiya ditemani Rais datang menemui Faruq di rumahnya. Setelah satu minggu memikirikan keputusannya. Terlihat ustazah Fatimah yang menemani, karena ayah mereka sedang menghadiri undangan ceramah di salah satu kampus.

Sedari tadi Sabiya menundukkan pandangannya, perasaan gelisah tidak bisa langsung dia hilangkan begitu saja. Meskipun Rais menggenggam tangannya untuk menenangkan, sayangnya itu tidak berhasil juga.

Sudah tiga menit semua bergelut dalam pikirannya masing-masing, sampai Faruq angkat bicara.

"Ehm... maaf kalau saya lancang. Saya ingin menanyakan maksud kedatangan kalian kemari. Sa, gimana? Apa sudah dibaca?" tanyanya.

Sabiya mengeratkan genggamannya. Rais menatapnya sekilas, kemudian mengangguk. "Bilang aja," ujarnya pelan.

Sabiya meneguk ludah, mengambil napas dan mengembuskannya perlahan.

"Sebelumnya terima kasih atas niat baik Kak Faruq. Tapi, sekali lagi saya minta maaf, Kak, saya masih belum bisa."

Sabiya mengangsurkan amplop yang sudah rapi kembali. Semalam dia tidak membacanya, meskipun Rais meminta.

"Lho, kenapa masih belum bisa?" tanya ustazah Fatimah. "Sudah coba istikharah?"

Sebuah anggukan ditunjukkan. "Sudah, Ustazah. Sampai minta tolong ke Mas Rais juga buat istikharah."

"Hasilnya?" kali ini Faruq yang bertanya. Tatapan matanya menuntut, tapi tetap terlihat tenang.

"Masih belum, Kak," jawabnya. "Maaf."

Dari sudut matanya Sabiya melihat segaris senyuman. Faruq begitu baik, bahkan sudah dua kali memintanya dengan berani. Namun sejak awal keraguan masih menyelimuti dirinya.

"Gak apa-apa. Mungkin memang belum jodohnya," ucapnya begitu lembut.

"Far, sori ya. Tapi pas saya bantu istikharah juga bukan kamu yang jadi pilihannya," tambah Rais.

"Santai aja, Bang Rais."

Setelah perbincangan serius bersama Faruq dan ustazah Fatimah. Sabiya berpamitan, lagipula dia tidak suka diam terlalu lama dengan situasi yang kurang mengenakan. Rasanya canggung dan menggerahkan. Sabiya tidak bisa berbohong tentang itu, dia benar-benar merasa tidak enak kepada Faruq. Namun, harus bagaimana lagi kalau ternyata hasil istikharahnya tetap menunjukkan Daris. Bahkan ketika Rais yang melakukannya, jawabannya pun sama.

"Dek, Mas udah coba istikharah. Mas gak yakin sama hasilnya. Maksudnya, Mas gak nyangka aja, kok bisa nama cowok itu yang Mas dengar. Bukan nama atau wajah Faruq."

Dini hari mereka berdua mengobrol di ruang tengah. Sabiya masih mengenakan mukenanya, ditambah kaos kaki yang membuatnya merasa hangat.

Sabiya menggeser posisi duduknya. "Maksudnya? Dia?"

"Itu... siapa sih cowok yang kemarin tuh, Dar... Daris?" tanyanya.

Sabiya cukup terkejut mendengar pernyataan Rais. Bagaimana bisa, bahkan sampai kakaknya yang memihak Faruq justru mendapat nama Daris sebagai jawaban.

"Kemarin pulang salat berjamaah, Mas pergi ke rumah teman. Dia sudah menikah, Mas tanya-tanya juga sama dia. Katanya, kalau pilihan itu meragukan lebih baik ditunda atau ditolak saja. Jadi, sekarang tergantung kamu. Mau nunda dan masih ngasih kesempatan, atau menolak lagi," jelasnya.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang