Thirty First

2.6K 270 24
                                    

Bukan kali pertama Sabiya berpergian sendiri menggunakan angkutan umum. Namun, saat ini rasanya berbeda. Ada tekanan yang tidak bisa dibantah, perasaannya masih tidak berani untuk tenang. Bahkan memejamkan mata untuk sekadar istirahat tidak kunjung dilakukan.

Waktu Isya sudah berlalu. Sejak perjalanan siang tadi, Sabiya tidak terlewat memberi kabar pada Bapak setiap kali kereta berhenti di stasiun.

Katanya, kondisi Ibu sudah mulai membaik, tetapi masih harus dirawat beberapa hari sampai kondisinya benar-benar pulih.

Ponselnya dipenuhi pesan dari Ashila. Perempuan itu turut menemani perjalanan pulang dengan terus bertanya posisi juga keadaan.

Sabiya bersyukur Allah mempertemukannya dengan orang-orang baik. Meskipun awalnya sempat ragu untuk mengambil program pertukaran pelajar, nyatanya niat yang kuat dan dukungan dari orang sekitar membuatnya mencapai titik yang tidak bisa dia percaya.

Siapa sangka seorang Sabiya mampu melanjutkan pendidikan di salah satu universitas ternama. Dan terpilih menjadi delegasi untuk mengikuti program pertukaran pelajar. Tentu saja semua itu tidak akan bisa dia dapatkan kalau bukan Allah yang memberikan jalan.

Sejak pertama masuk ke dunia perkuliahan sampai sekarang, banyak hal yang dia dapatkan. Tak sedikit teman rasa keluarga itu dia miliki dari berbagai kegiatan. Dunia yang katanya keras, bisa dilewatinya dengan susah payah. Namun, Sabiya yakin semua kerja kerasnya takkan sia-sia. Hasil takkan mengkhianati proses. Ungkapan seperti itu seringkali dia dengar, dan kenyataannya memang begitu.

Sabiya melihat jam pada layar ponsel. Sebentar lagi pukul sembilan. Dia mencoba mencari posisi nyaman. Untung saja yang duduk di sampingnya adalah seorang perempuan.

Sabiya mengambil snack di dalam tas. Rasa kantuk tidak bisa membuatnya tertidur kalau perutnya merasa lapar. Baru ingat sejak tadi pagi dia belum makan nasi sama sekali. Ternyata kekhawatiran bisa membuat diri lupa segalanya.

"Ngemil, Mbak?" tawarnya.

Perempuan itu menoleh, tersenyum dan mengulurkan tangannya.

"Boleh. Makasih lho, ya," ujarnya.

Sabiya kira orang di sampingnya tidak welcome. Ya namanya juga sebuah prasangka, tidak akan diketahui kebenarannya kalau tidak dibuktikan sendiri.

Setelah menawarkan makanan ringan, mereka jadi asyik mengobrol. Sabiya senang mendapatkan teman selama perjalanan. Mereka banyak bertukar cerita seputar pengalaman kuliah dan organisasi. Ternyata orang di sampingnya ini adalah mahasiswi UB, satu universitas dengan youtuber dakwah favoritnya.

Tujuan mereka pun sama, yaitu stasiun Bandung. Katanya dia harus pergi ke rumah saudara karena ada sesuatu hal yang penting.

"Ya Allah, saking asyiknya ngobrol sampai lupa belum tanya nama," ujar perempuan itu.

Sabiya membulatkan mata. Benar juga, sudah ngobrol sana-sini ternyata mereka belum berkenalan.

"Namaku Annisa, mau panggil Nisa, Ica atau Caca, bebas deh itu," ujarnya diiringi tawa.

Sabiya mengangguk. Annisa benar-benar orang yang mudah akrab.

"Namaku Sabiya, biasanya sih dipanggil Biya."

Terlihat perempuan itu mengangguk. Ia mengeluarkan ponselnya, kemudian meminta Sabiya untuk mengetikkan nomor kontak yang bisa dihubungi. Siapa tahu ketika di Bandung bisa jalan-jalan bareng, katanya.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang