Fifth Reason

5.4K 383 9
                                    

Hari Jumat kemarin, dari kosan Rida Sabiya langsung berangkat mengajar. Belum pernah dia merasa selelah itu. Sabiya yang biasanya mengajar kelas dua diminta mengajar di kelas satu.

Sabiya berlutut menyejajarkan tingginya dengan Kahlil.

Kahlil sedari tadi menangis, bahkan tidak mau mengaji.

Mengajar kelas satu adalah tantangan tersendiri bagi Sabiya. Anak-anak masih senang bermain dan tak jarang bertengkar. Seperti saat ini, Sabiya harus membujuk anak yang menangis.

"Alil, kenapa? Udah jangan nangis, ya. Yuk, cerita aja sama Kakak di sini, nanti baru ngaji, ya."

Sabiya sudah mengulang ucapan itu lebih dari dua kali. Namun, tetap saja Kahlil belum juga mau berhenti menangis.

"Amatnya baong, Alil dipukul. Sakit," ujarnya.

Sabiya melihat Rahmat menjulurkan lidah seraya mengejek Kahlil yang masih menangis.

Terkadang Sabiya merasa kesal. Di saat lelah selepas kuliah, dia harus langsung mengajar dan mendapati hal-hal seperti itu. Namun, rasa kesal itu selalu berusaha dihilangkan. Sabiya sadar, anak-anak memang masanya seperti itu.

Tidak ada anak yang bodoh. Namun, yang ada adalah guru yang buruk.

Kata-kata itu menjadi cambuk bagi Sabiya. Ia masih ingat saat pertama kali menjadi pengajar dan menjalani micro teaching. Ustaz Jamal yang kala itu menjadi pengamat, memberikan beberapa komentar dan masukan. Salah satunya adalah pernyataan bahwa tidak ada anak yang bodoh.

Sabiya terkadang merasa sedih ketika mendengar dari pengajar lain, bahwa ada anak yang lebih sering ditinggalkan orang tuanya bekerja. Sehingga anak itu kekurangan waktu bersama orang tua.

Setelah terus berusaha membujuk Kahlil, akhirnya dia luluh juga.

Baru saja Kahlil menyelesaikan satu baris di iqra satu. Rahmat dengan usil menoyor kepalanya.

"Amat. Gak boleh gitu," tegas Sabiya. "Amat udah ngaji belum?"

"Belum," jawabnya dan langsung berlari.

Sabiya menggeleng, fokusnya kembali pada Kahlil.

Tiga baris didapat, Kahlil berlari dan bermain dengan yang lainnya.

Di kelas satu ada tiga pengajar yang membimbing anak-anak. Seharusnya Sabiya mengajar di kelas dua. Namun, Rahmi sedang sakit. Akhirnya Sabiya menggantikannya mengajar di kelas satu.

"Kak Biya, Sisil nangis," teriak anak lain.

Sabiya yang selesai mengajar Kahlil mengaji langsung berjalan ke sudut dimana Sisil menangis. Terlihat gadis kecil dengan pakaian serba pink itu menangis sesenggukan. Wajahnya tersembunyi di atas lipatan tangannya.

Mengusap kepalanya, Sabiya berucap agar Sisil berhenti menangis.

Meski anak-anak bisa menjadi alasan untuk tertawa. Terkadang mereka juga bisa membuat kesal.

▲▽▲

Pusing mendera ketika merasa lelah kemarin malam. Namun, malam ini Sabiya tidak ingin terus-menerus merasakannya.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang