Thirty Eighth

1.9K 216 29
                                    

Waktu terlalu cepat berlalu, rasanya baru kemarin Daris datang menemui orang tuanya, sedangkan dia meminta waktu untuk memantapkan diri sebelum memberikan jawaban. Dua malam terakhir Sabiya terus meminta Allah memantapkan hatinya jika memang ini jalan terbaik. Keputusan yang diambil tak lepas dari saran kedua orang tua serta bude dan pakdenya. Ah, satu orang terakhir yang paling banyak berperan aktif mendorongnya untuk memilih jawaban, siapa lagi kalau bukan Rais. Katanya sang kakak sudah mendapat alasan yang cukup selama mengantarkan calon adik ipar ke rumah temannya.

"Terima, Dek. Pokoknya harus, demen nih Mas sama orang macam dia," katanya disela-sela diskusi malam kemarin dengan keluarga.

Entah apa saja yang sudah mereka obrolkan sampai-sampai Rais ngotot membujuk Sabiya untuk menerima laki-laki itu. Padahal sebelumnya Rais yang seringkali mengkhawatirkan dirinya dan menyuruhnya untuk berhati-hati.

Seperti ucapannya pada Daris, bahwa dia meminta waktu dua hari untuk memikirkan semuanya. Setelah seluruh keluarga sepakat dengan jawaban Sabiya, Rais langsung menghubungi Daris untuk mengundangnya makan malam hari ini.

Siang ini Sabiya ditemani Rais berbelanja beberapa kebutuhan yang diperlukan untuk nanti malam. Sabiya membaca sebuah catatan dari bude berisi bahan-bahan masakan yang harus mereka beli.

"Lumayan banyak," celetuknya.

"Apa?" tanya Rais.

Sabiya menunjukan catatan itu kepada orang di sampingnya.

Jalanan hari ini cukup padat, mobil yang ditumpanginya masih tetap bertahan di posisi, hanya berpindah sesekali.

Rais bilang nanti malam Daris akan datang bersama orang tuanya yang menyusul ke Bandung beberapa saat lalu. Begitu mendapat kabar dari Rais, dia langsung menghubungi orang tuanya. Sabiya terus mendengarkan cerita Rais saat dia menghubungi laki-laki itu. Sampai saat ini dia masih tidak percaya kalau jalannya bersama Daris seolah semakin terbuka.

"Mas, aku takut," ucapnya tiba-tiba.

Rais menatap dirinya dan bertanya kenapa. Namun, Sabiya malah diam. Dia menatap kosong ke samping kaca mobil. Entah kenapa perasaan ragu justru muncul setelah dia melontarkan jawaban pada Daris. Padahal sejak awal kepastian inilah yang ia tunggu-tunggu.

"Kenapa, Dek? Kamu nyesel udah bilang iya?"

Sabiya melihat tatapan mata penuh keseriusan. Rais tidak bercanda, benar-benar ingin tahu apa yang dirasakannya. Tapi Sabiya sendiri tidak yakin dengan apa yang dirasakan, masa iya dia menyesal karena telah menerima seseorang yang selama ini dia  tunggu.

"Apa ini namanya ujian sebelum nikah ya, Mas? Ya kayak cerita teman-temanku yang katanya mendadak mereka jadi ragu setelah dikhitbah," ujarnya.

Sabiya menangkap notifikasi masuk di layar ponselnya, nama Daris tertera di sana dengan satu pesan bahwa orang tuanya sudah sampai. Kata-kata itu memicu gemuruh di dada, tiba-tiba saja Sabiya teringat bagaimana penantiannya selama ini, juga bagaimana perjuangan Daris yang mungkin saja tidak ia ketahui.

"Eh gak jadi deh, Mas. Aku gak ragu, aku yakin, insyaAllah dia yang terbaik dari Allah."

Rais menggeleng disertai decakan, "Labil banget sih yang mau nikah, abis dapat pesan aja bisa langsung yakin begitu." Dia mengusap kepala Sabiya seraya berkata, "Bagus deh kalau udah yakin, pertahankan ya, jangan sampai bisikan setan itu mempengaruhimu," ujarnya.

Rais tertawa mengingat kata-katanya tadi, wajah adiknya kini sudah mulai tenang tidak terlihat gelisah seperti sebelumnya.

"Mas gak apa-apa nih?" tanya Sabiya.

"Apanya?"

"Yaa... aku ngelangkahi Mas lho ini nikahnya, Mas baik-baik aja 'kan?"

Rais menatap lawan bicaranya, "Sebenarnya sih Mas kecewa banget kamu tega-teganya melangkahi Mas, tapi ya karena Mas baik hati jadi santai aja."

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang