Seventeenth Reason

3.1K 293 12
                                    

Gadis itu menunduk. Balutan mukena menghangatkan tubuhnya, seiring cairan hangat yang melewati pipinya. Dia mengusapnya berkali-kali, tetap saja air mata keluar. Tangisnya tak bersuara, cukup untuk menyesakkan dada. Membuat kerongkongannya tercekat.

"Bi, buka pintunya dong."

Suara yang sama diiringi dengan ketukan pintu, berkali-kali tak mendapat jawaban.

Sabiya masih tertunduk. Keningnya bertumpu pada pinggiran ranjang. Jari-jari tangannya bergetar, pikirannya saling beradu argumen. Hati masih merasakan perihnya luka, melebihi luka yang pernah membekas di kakinya. Dia saja merasa terpukul, bagaimana dengan Daris di sana. Memikirkannya membuat Sabiya semakin terpukul. Daris tidak mengangkat teleponnya sedari tadi, hal itu menambah kegelisahannya.

"Bi, buka dulu pintunya. Mas mau ngomong."

Suara Rais masih terdengar di depan pintu. Pun ketukan yang tidak berirama.

Di luar sana Rais terlihat kelabakan, dia mondar-mandir tak tentu arah. Sabiya mengunci diri di kamar. Bude juga masih belum pulang, membuat Rais semakin kebingungan. Dia menatap ponsel di tangan, tanpa berpikir panjang, dia segera menekan tombol hijau pada salah satu nomor tanpa nama.

"Angkat, angkat. Duh, buruan angkat," ujarnya. Kaki jenjangnya masih saja mondar-mandir tak menentu.

"Ah. Assalamualaikum. Ris? Daris?" panggilnya setelah mendapat jawaban dari pemilik nomor.

"Alhamdulillah, akhirnya diangkat juga. Ris ini Rais, kakaknya Sabiya yang tadi nelepon," jelasnya. Rais mendengar jawaban dengan saksama, pikirannya masih gelisah tentang Sabiya.

Terdengar Daris mengiyakan, menandakan bahwa dia ingat. Meskipun keadaannya sedang tidak baik, Rais tidak punya pilihan lain. Dalam pikirannya, Daris bisa membujuk Sabiya untuk berhenti menangis dan mengurung diri.

"Dari tadi kamu gak angkat telepon adik saya. Kenapa?"

Rais mendengarkan penjelasan Daris. Katanya dia tidak mau membuat Sabiya khawatir, apalagi saat ini keadaannya begitu buruk. Kehilangan Aisha menbuat Daris tidak bisa mengontrol emosinya, dia takut menangis saat berbicara dengan Sabiya. Atau, yang paling ditakutkan kalau dia tiba-tiba melampiaskan emosinya.

"Tapi, sekarang Sabiya ngurung diri. Pintu kamarnya dikunci, nangis gak berhenti-berhenti. Tolong dong, gitu-gitu juga dia adik saya, meskipun nyebelin."

Rais bersikeras meminta Daris untuk membujuk Sabiya. Tanpa dia tahu laki-laki di sana merasa lemah, tak berguna. Aisha pergi meninggalkannya, dan kini gadis yang dikaguminya terbebani karena dirinya.

"Maaf kalau kesannya saya memaksa. Tapi, sekarang Sabiya butuh kamu. Setidaknya kabar dari kamu, sebentar saja," tuturnya penuh permohonan.

Terdengar helaan napas panjang, sebuah kata 'Iya' meluncur dari mulutnya.

"Thanks ya, Bro. Kalau kamu mau sama Sabiya, saya dukung," ucapnya. Hal itu berhasil membuat Daris terbatuk-batuk, sedang Rais terbahak mendengarnya.

Rais menanti di depan pintu kamar. Masih menunggu Sabiya membuka kuncinya, agar dia bisa masuk dan menenangkan gadis itu. Sabiya itu ya, giliran masalah laki-laki dia tidak pernah cerita. Tahu-tahu sudah begini, sampai harus ada kejadian buruk baru terbongkar ada seseorang yang dekat dengannya.

Rais menajamkan pendengarannya ketika ada suara obrolan dari dalam kamar Sabiya. Dia menempelkan telinganya pada celah pintu.

Terdengar isak tangis yang mulai mereda, setelah amarah yang keluar begitu saja. Terakhir, Rais mendengar permintaan maaf yang teramat panjang dari gadis itu. Setelahnya, suara-suara obrolan itu menghilang. Rais yakin pendengarannya tidak terganggu, dia lebih mendekatkan lagi untuk memastikan.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang