Sixteenth Reason

3.1K 300 21
                                    

Wajahnya terasa panas. Entah karena suhu di dalam ruangan kamarnya, atau memang suhu tubuhnya yang tidak normal. Tangannya bergerak-gerak mencari ponsel di atas nakas. Melihat penanda waktu di layarnya.

Sabiya berusaha bangun ketika melihat angka sebelas di hadapannya. Mata kuliah pertamanya pukul delapan, pagi tadi. Namun, Sabiya masih terbaring dan belum beranjak dari ranjang sejak subuh.

Merasa badannya tidak enak, Sabiya berbaring sebentar setelah subuh. Kenyataannya dia ketiduran, bahkan jam pertama kuliahnya sudah terlewat.

Sabiya duduk, memegang kepalanya yang terasa sakit. Rasa pusing mengaburkan pandangannya. Perasaannya tiba-tiba gelisah. Ini bukan karena dia telat pergi ke kampus. Sepertinya ada hal lain yang mengganggu pikirannya.

Sabiya berjalan perlahan keluar kamarnya, tangannya meraba-raba dinding sebagai penopang. Pusing yang menyerang kepalanya, membuat tubuhnya terasa tidak seimbang. Dia hampir saja terjatuh, mengenai ujung meja di dekat ruang tamu. Ungtunglah Rais dengan siaga menangkapnya.

"Dek," panggilnya.

Rais menepuk-nepuk pipi Sabiya beberapa kali. Namun, belum ada tanda-tanda gadis itu akan sadar. Bude sedang tidak ada di rumah, ikut pengajian rutin di masjid sekitar komplek.

"Hoi, Dek. Bangun dong," ujarnya.

Melihat mata Sabiya masih tertutup. Rais mengambil segelas air dan mencipratkannya ke wajah gadis itu. Perlahan, matanya mengerjap. Rais kembali memanggil dan menyuruhnya bangun, sampai Sabiya membuka matanya. Dia terbaring di atas sofa, di sisinya terlihat Rais dengan kekhawatiran yang nampak di wajahnya.

Sabiya mengerang, rasa pusingnya menjelma kesakitan yang seolah menusuk-nusuk kepala. Sabiya menjambak rambutnya dari balik kerudung.

"Kamu kenapa, Dek? Pusing? Mas ambilkan obat, ya. Tunggu sebentar."

Tanpa menunggu jawaban, kaki jenjangnya sudah melangkah menjauhi Sabiya yang kini dalam posisi bersandar pada  kepala sofa. Gadis itu terlihat memijat pelipis dan kepala bagian atas yang terasa sakit. Sabiya menepuk dadanya pelan, bukan hanya rasa pusing yang dirasakannya. Dadanya terasa sesak, perasaannya masih gelisah. Pikirannya kosong. Tiba-tiba saja dia teringat pada Daris. Perasaannya semakin gelisah ketika nama laki-laki itu melintasi pikirannya.

"Dek, minum dulu obatnya," titah Rais. Membawakan segelas air dan obat pereda pusing yang diambilnya dari kotak P3K.

"Mas ... boleh tolong bawakan HP aku di kamar?" pinta Sabiya, tanpa menghiraukan perintah Rais sebelumnya.

Rais mengangguk, dia segera berjalan menuju kamar Sabiya. Benda kecil serbaguna itu mudah sekali ditemukan, tergeletak di atas nakas.

Sabiya menerima ponsel dari tangan Rais. Dia langsung membuka aplikasi Whatsapp, mencari kontak dengan nama Daris. Setelah menemukannya, Sabiya mengecek kapan terakhir kali laki-laki itu aktif. Pukul tujuh pagi. Mungkin saat ini Daris sedang kuliah, pikir Sabiya. Sehingga dia kembali mematikan data internet dan menyimpan ponsel di sampingnya.

"Kenapa, Dek?" pertanyaan yang belum terjawab, kembali Rais tanyakan.

Sabiya menggeleng.  Matanya terpejam sejenak, seiring dengan kepalanya yang kembali bersandar pada sofa. Satu menit kemudian, dia menegakkan badannya, menatap Rais yang masih duduk di depannya.

"Perasaan aku gak enak, Mas. Kayak ada yang mengganjal, tapi gak tahu apa," ujar Sabiya terus terang.

"Kangen Ibu, ya?"

Rais memandang Sabiya, memang sudah satu bulan lebih gadis itu belum pulang ke rumahnya. Alasannya selalu sama, masih ada tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang