Eleventh Reason

3.6K 318 3
                                    

Terik matahari mulai merambat, melalui celah dedaunan di pohon dengan batang yang kokoh. Juga rerumputan yang menghias sekelilingnya.

Keringat mulai menetes, sedikit demi sedikit. Tangan kanan menyeka aliran pada pelipis, kemudian melanjutkan aktifitas menulis lagi.

Semakin siang, hari semakin panas. Menbuatnya berpikir untuk mencari tempat lain.

"Zar, pindah yuk. Makin panas nih," ujarnya. Matanya menyipit ketika menatap langit yang begitu cerah.

"Kamu itu cowok, Yas. Masa kalah sama panas," timpalnya.

Yassar menjitak kening sahabatnya. "Bukan masalah cowok atau apanya, kalau panas ya sama aja."

"Iya dah iya. Pindah kemana kita?" tanyanya.

Nizar membereskan buku dan memasukkannya ke dalam tas.

"Masjid aja, ya. Sekalian nunggu zuhur," usulnya.

Yassar melakukan hal yang sama. Beberapa kertas yang berserakan dirapikan dan disatukan dalam sebuah map cokelat.

Dua orang yang terkenal dengan pertemanannya itu tengah mengerjakan tugas dari salah satu dosen pengajarnya.

Yassar dan Nizar sudah berteman sejak SMA, kebetulan mereka diterima di universitas yang sama, dengan jurusan yang sama pula. Sebenarnya ini adalah rencana, tak disangka Allah juga mengizinkannya.

Sama-sama memiliki latar belakang ruhiyah yang tidak terlalu baik, terutama ketika masa-masa SMA. Keduanya bergabung dengan UKM yang bergelut di bidang dakwah. Tentunya hal ini untuk mmbantu mereka belajar lebih dalam tentang agama, bertemu dan berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa mengingatkan pada kebaikan.

Bukan hal mudah bagi seorang Yassar untuk terjun dalam dunia keislaman, terutama dalam bidang dakwah. Apalagi di saat dia baru mulai hijrah. Banyak hal yang harus dipelajari. Karena itu, setiap pembuatan video dakwah, dia selalu meminta saran kepada kakak mentor atau kepada ustaz-ustaz yang dia kenal. Bergabung dengan UAKI membuatnya perlahan-lahan lebih baik, bertemu dengan orang-orang yang tak kenal lelah berjuang di jalan-Nya. Hal itu membuat Yassar bersyukur. Meski ada satu hal yang masih mengusik pikirannya.

"Kenapa senyum-senyum?" tanya Nizar saat mereka dalam perjalanan menuju masjid.

"Apa? Siapa yang senyum-senyum?" yang ditanya malah balik bertanya. Ini adalah taktik untuk mengindari introgasi versi Yassar.

"Ya situ, gak usah ngelak," katanya.

Yassar mengembuskan napas pelan. Tetap berjalan tanpa mengacuhkan Nizar yang masih bertanya-tanya.

Apa yang dia lakukan, sampai tidak sadar senyum-senyum sendiri. Untung saja hanya Nizar yang melihatnya. Yassar harus bisa mengendalikan pikirannya, agar tidak mnciptakan ekspresi tak terduga.

Senyuman itu bukan tanpa alasan memang. Tiba-tiba saja Yassar teringat dengan seseorang yang membuatnya merasa perlu mempelajari Islam lebih dalam, dan mempraktekan ilmu dalam setiap amalannya. Seseorang yang berhasil mengetuk sudut keras di dalam hatinya, seolah membawa cahaya yang menerangkan. Awalnya dialah yang menjadi alasan. Namun Yassar sadar, dia harus terus memperbaharui niat hijrahhya karena Allah semata. Meskipun tak bisa dipungkiri, perempuan itu yang menjadi titik awalnya.

Yassar tidak pernah menduga, Allah akan mempertemukan dia dengan perempuan yang bahkan tak terjangkau oleh penglihatannya. Tentu saja yang paling tidak disangka, bisa-bisanya perempuan itu meruntuhkan pertahanannya tentang dirinya yang sempat berkata bahwa dia tidak mau menikah.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang