Twenty Fourth Reason

3.2K 275 0
                                    

Sabiya berjalan menuruni tangga. Ketika langkahnya sampai di depan masjid, perasaan tidak enak selalu menghampiri. Takut kalau bertemu Faruq. Padahal sedari dulu juga biasa saja. Dia bahkan tidak tahu kalau selama ini Faruq mengamatinya. Namun, setelah penolakan kedua kali yang dia lakukan, rasanya canggung jika harus berpapasan.

Langit masih terlihat mendung, dihiasi awan kelabu. Padahal jam yang melingkar di tangannya masih menunjukkan angka satu. Jalanan beraspal yang dipijaknya juga masih terasa basah, terdapat beberapa kubangan air di jalanan berlubang. Hampir saja dia menginjak salah satunya ketika hendak menyeberang.

Setelah menerima titipan yang diberikan Aqil, dia memutuskan untuk beristirahat sejenak di masjid kampus. Sembari menanti hujan reda, dia ingin menenangkan pikiran yang semakin terbelit. Kiriman CV dari seseorang yang bernama Ihza sungguh kejadian yang tidak disangka. Sama halnya seperti Faruq. Sabiya bahkan tidak mengenal mereka berdua, kenapa bisa kedua orang itu mengirim CV ta'aruf padanya.

"Duh, Dek. Kalau jalan jangan melamun dong."

Sabiya mengusap keningnya. Dia berjalan melewati Rais tanpa menghiraukan ucapannya.

Membuka pintu kamar, berjalan dan duduk di atas tempat tidur. Sabiya mengeluarkan amplop yang sudah terobek sisi kanannya. Mengeluarkan isinya, kemudian mencatat nomor telepon yang tertera di sana.

"Dek, kamu gak apa-apa 'kan?"

Suara Rais terdengar dari luar, setelah ketukan pintu mengawalinya. Sabiya merasa tidak ingin banyak bicara, bahkan sekadar menjawab pertanyaan kakaknya. Namun, dia tahu kalau tetap diam Rais akan terus bertanya, bisa-bisa pintu kamarnya rusak didobrak kalau terus-menerus tidak menyahut.

"Iya. Gak apa-apa. Tadi capek habis rapat, mau istirahat sebentar terus mandi," jawabnya berbohong.

Setelah itu terdengar langkah kaki menjauh dari kamarnya, tandanya Rais percaya dan sudah pergi.

Sabiya berkali-kali mengetik dan menghapus untaian kalimat pada layar ponselnya.

"Gimana, ya," gumamnya.

Kenapa pula harus ada lagi yang memberinya CV di saat seperti ini. Sabiya tidak tahu rencana apa yang sedang Allah jalankan untuk kehidupannya. Namun, kenapa sampai sekarang dia belum bisa menerima yang jelas-jelas sudah ada bukti serius kepadanya.

Suara ponsel mengejutkannya. Sabiya tersentak hingga amplop di atas pangkuan jatuh ke bawah.

"Assalamualaikum, Bi. Lagi dimana?"

Sura Rida masuk ke pendengarannya. Sudah lama dia tidak main ke kost-an Rida dan bercerita banyak hal. Ketika bertemu terkadang hanya menyapa dan mengobrol sebentar. Karena saat ini mereka beda kelas, dengan jadwal yang berbeda cukup sulit menentukan waktu main kalau bukan hari libur.

"Waalaikumsalam. Di rumah. Kenapa, Rid?" tanyanya.

Sabiya mengambil kertas yang terserak di lantai. Menyimpannya di atas nakas.

"Lho, emang aku bisa ikutan ya? Rasanya enggak deh, tapi lumayan juga sih. Hah? Ke Malang?"

Matanya terbelalak. Malang? Kota itu... tempat dimana Daris tinggal.

"Universitas Negeri Malang? Itu yang dekat UB bukan, sih?" tanyanya.

Sesaat setelah terdengar suara Rida yang mengiyakan, degup jantungnya seolah berhenti.

"Iya, Rid. Nanti aku pikir-pikir lagi, makasih informasinya."

Sambungan telepon terputus setelah mengucap salam. Kini Sabiya merasa tidak karuan. Rida memberitahunya perihal Exchange Program.  Katanya, program ini akan dilaksanakan tahun depan, ketika semester ganjil. Lama waktunya satu tahun, terhitung dua semester. Jika Sabiya mengambil kesempatan ini, maka semester lima dan semester enamnya akan dilakukan di universitas tersebut.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang