Ninth Reason

4.1K 343 1
                                    

Sabiya terperanjat mendengar suara ketukan pintu. Siapa yang mengetuk pintu kamar tengah malam begini.

Tissue di atas nakas ditariknya, selembarannya mulai menghapus jejak air matanya. Sabiya bercermin, membenarkan mukena dan mengucek matanya beberapa kali agar tidak terlihat sudah menangis.

"Siapa?" tanyanya sebelum membuka pintu.

"Ini, Mas. Boleh masuk?"

Itu suara Rais. Sabiya berpikir sebelum membuka pintunya.

"Ada apa?" tanyanya basa-basi, pintu masih tertutup.

"Ada perlu, pakai banget. Aslian ini mah, Dek," ujarnya dari luar.

Sedikit ragu Sabiya membuka pintu, dia bersembunyi di baliknya. Terlihat Rais masuk dengan segelas air bening di tangan kanannya.

"Nih," ucapnya seraya menyodorkan gelas itu pada Sabiya.

Mengerutkan dahinya, Sabiya menatap Rais heran.

"Capek 'kan habis nangis? Minum dulu," ujarnya.

Rais duduk di kursi dekat jendela. Memerhatikan Sabiya yang masih memegang gelas tanpa meminum airnya.

"Minum dulu, Dek," titahnya lagi.

Aliran air yang membasahi kerongkongan membuat rasa segar menyapa. Sabiya meneguknya hingga tandas, menyimpan gelasnya di atas nakas.

"Makasih," ucapnya.

Sabiya melihat Rais yang masih menatapnya dengan pandangan menuntut penjelasan.

"Jadi?"

Benar bukan, Rais sedang menanti penjelasan.

Tadinya Rais hendak kembali ke kamarnya setelah dari kamar mandi. Panggilan alam tengah malam memang tidak bisa ditolak. Namun, dia mendengar suara tangis dari arah kamar Sabiya. Berjalan menuju dispenser dan mengambil segelas air, Rais mengetuk pintu kamar gadis itu. Khawatir terjadi apa-apa, seorang gadis menangis tengah malam.

Awalnya Rais berpikir Sabiya menangis karena ada masalah kuliah, atau karena kelalaiannya pada Allah. Ketika pintu terbuka, dia melihat Sabiya masih memakai mukena. Rais merasa ada yang janggal. Biasanya Sabiya akan shalat tahajud pukul dua atau tiga dini hari, sedangkan saat ini masih pukul setengah satu.

"Masih gak mau cerita?" tanya Rais lagi, melihat Sabiya duduk menundukkan wajah.

Mengambil napas, Sabiya menatap Rais yang berjalan mendekat.

"Cerita aja," ujarnya ketika sampai di depan Sabiya. "Ya ... Mas emang bukan ahlinya, sih. Tapi, siapa tahu bisa bantu," sambungnya lagi.

Sabiya berpikir, apa dia harus menceritakan masalah ini pada Rais. Nanti dia bisa di-bully habis-habisan kalau ketahuan bercerita tentang laki-laki.

"Cowok, ya? Pasti ini," tuduh Rais tepat sasaran. "Mas gak akan ngatain, kok," katanya.

Sabiya mengambil napas, mengumpulkan keberaniannya untuk bercerita.

"Mas ...." panggilannya menggantung. "Doa itu bisa jadi penghalang gak, sih?" tanyanya.

Rais terlihat berpikir keras. Tiba-tiba dia teringat saat masih semester satu, pernah ada kajian dadakan di kelasnya tentang kekuatan doa.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang