Forty Two

1.8K 151 4
                                    

Asrama terlihat sepi, pintu kamar yang lain masih tertutup rapat, hanya ada satu dua orang saja yang keluar dan berpapasan dengannya. Sepertinya pagi ini hanya dia yang sibuk. Satu minggu absen di saat UTS, membuatnya harus ujian susulan di saat yang lain menikmati masa liburan.

Sabiya bergegas ke kamar untuk mengambil tas. Setelah memotong mangga yang sudah dikupas tadi, dia memasukanya ke wadah bekal. Hari ini buah mangga dari Mbah Sarip menjadi andalan kalau nanti soal ujian bikin kepalanya mumet.

"Gak mau diantar, Sa?" tanya Ashila.

Perempuan itu sedang asik menonton drama korea, melanjutkan maraton film yang tertunda, katanya.

Sabiya menggeleng, dia memakai tas kemudian berjalan keluar. Sebelum benar-benar menutup pintu, dia ingat ada hal yang harus dikatakan.

"Jangan lupa makan, salat dan tilawahnya juga awas bablas. Oppa-mu itu gak bisa nolong kalau kamu mati kelaparan terus masuk neraka," ujarnya dan langsung pergi.

Sabiya bisa mendengar Ashila setengah berteriak bilang iya. Biar terdengar dan meyakinkan kalau dia akan melakukan perintahnya.

Belum selesai dia memakai sepatu, ponselnya berdering dan menunjukan nama kakaknya.

"Assalamualaikum, Mas. Ada apa?" tanyanya sambil mengikat tali sepatu.

Pendengarannya tetap fokus meski suara gerbang sempat menggangu. "Syukur deh kalau gitu, berarti untuk WO udah aman ya." Sabiya berjalan masih dengan ponsel menempel di telinga. Di seberang sana Rais sedang menjelaskan terkait temannya yang siap membantu pernikahan Sabiya.

"Udah dulu ya, Mas. Aku lagi mau ke kampus nih, ada ujian susulan. Doakan abi bisa mengerjakan soal-soalnya, dan gak keburu mumet lihat tulisan-tulisan Arabnya." Terdengar tawa dilanjutkan ucapan-ucapan motivasi. Setelahnya Sabiya mengucap salam dan memastikan sambungan telepon sudah terputus sebelum dia memasukam ponsel ke dalam tas.

Enaknya kasih kabar ke Daris juga kali ya, pikirnya.

Sabiya ingat kalau Daris sudah meminta kakaknya membuatkan grup untuk memfasilitasi mereka dalam berkomunikasi, itu artinya dia tidak boleh lagi mengirim pesan secara personal.

Sabiya: Untuk WO alhamdulillah sudah aman, dibantu Mas Rais.

Selesai. Sabiya memasukan ponsel dan bergegas menuju kampus.

▲▽▲

Suasana kampus cukup berbeda dari biasanya. Tidak terlalu banyak orang berlalu lalang seperti pada hari-hari jadwal kuliah, hanya ada beberapa yang mungkin datang untuk memperbaiki nilai atau sekadar wifi-an.

Tidak terasa sudah hampir memasuki masa akhir program pertukaran pelajar, ujian tengah semester akan berlalu. Sekitar dua atau tiga bulan lagi setelah ujian akhir selesai, maka selesai pula perkuliahannya di sini, kecuali jika dia tetap memilih program satu tahun.

Sabiya melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. Masih sekitar 30 menit lagi waktu janjiannya dengan pak Yayan selaku ketua jurusan. Sebelum menghubungi dosen-dosen yang bersangkutan, ia harus melapor dulu kepada ketua jurusan agar proses ujian susulannya tidak dipersulit.

Ponsel berdering membuatnya beranjak pergi ke tempat duduk di bawah pohon.

"Assalamualaikum, Mas. Ada apa?" Sabiya menyimpan tas di pangkuannya. "Oh iya, sebentar, tadi kumatiin karena lagi di jalan. Iya aku aktifkan lagi ini," ujarnya seraya menutup sambungan telepon setelah membalas ucapan salam.

Sabiya mengaktifkan data internetnya. Benar saja ada tiga panggilan masuk dari Rais, ditambah beberapa pesan di grup Persiapan Pernikahan.

Daris: Alhamdulillah. Makasih banyak, Mas.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang