Forty Eighth (The Last Reason)

1.5K 149 21
                                    

Sudah satu bulan pernikahannya dengan Daris, saat ini mereka berada di Malang dan tinggal di rumah orang tua Daris. Mereka kembali ke Malang dua hari setelah menikah, hal itu dilakukan tentu karena mereka harus melanjutkan perkuliahan.

Sabiya sudah tidak tinggal di asrama, namun sesekali ia datang untuk menemui Ashila. Seperti hari ini, ia diantar suaminya sekalian berangkat kuliah katanya.

"Mau aku jemput jam berapa?" tanya laki-laki yang duduk di sampingnya.

"Uhm... kamu selesai jam berapa?"

"Kebiasaan nih selalu nanya balik," ujarnya. Ia melirik arloji yang melingkar di tangan kanan. "Jam satu atau dua-an lah sepertinya."

Sabiya nyengir. Padahal baru satu bulan, tapi laki-laki ini sudah mengetahui beberapa kebiasaannya.

"Aku dijemput setelah kamu selesai saja, gak apa-apa kok."

Daris mengangguk. Tak lama kemudian terlihat seorang perempuan melambaikan tangan di depan pagar. Hal itu membuat Sabiya bersiap keluar, ia meraih tangan Daris dan menyalaminya sebelum benar-benar keluar.

"Semangat kuliahnya ya!" ia mengepalkan dua tangannya, selanjutnya berganti lambaian.

Belum sampai ke depan gerbang, dia sudah diserbu pelukan selamat datang dari orang di hadapannya.

"Ya ampun, Cil. Padahal kemarin baru ketemu di kampus, lagaknya udah kayak gak ketemu bertahun-tahun."

Ashila melepas pelukannya. "Habisnya kamu kan baru ke asrama lagi. Aku kesepian nih, gak mau tinggal di sini lagi aja?" candanya. Tanpa dijawab pun sudah tahu bagaimana tanggapannya.

"Eh, Sa, awal bulan depan kita udah mulai ujian akhir. Terus akhir bulan depan juga program kamu selesai, balik ke Bandung lagi dong ya?"

Mereka berjalan memasuki asrama. Sabiya melihat sekitar, tidak banyak yang berubah, tentu karena belum terlalu lama dia pindah. Sesampainya di kamar, Sabiya merebahkan tubuhnya di atas kasur. Kangen tidur di sini, katanya.

"Sa, kamu belum jawab pertanyaanku," ujar perempuan itu mngingatkan. Ashila memang tipe orang yang harus dijawab dulu pertanyaannya, dia tidak akan lupa meski sdah dibiarkan.

"Iya, Cil, aku tahu kok. Aku sama Daris juga sudah sepakat, kita LDM dulu sampai kuliah selesai. InsyaAllah bisa. Dia bilang juga bakal berkunjung setidaknya sebulan sekali ke Bandung buat nemuin aku," jawabnya.

"Terus nanti kalian tetap tinggal di rumah orang tua Dhabith?"

Sabiya menggeleng. "Dia sudah meyiapkan rumah, insyaAllah setelah lulus kuliah kita bakal langsung pindah."

Hari ini obrolan mereka berdua seputar kehidupan rumah tangga yang baru berusia satu bulan itu. Sabiya menyadari bahwa memang ada beberapa hal yang berubah, dan hal-hal yang memang harus diubah ketika sudah memutuskan untuk menikah.

Sabiya harus belajar mengesampingkan egonya. Ia juga harus mulai beradaptasi dengan laki-laki yang mengisi hari-harinnya dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Setelah menikah bukan berarti terbebas dari berbagai masalah, melainkan akan ada masalah-masalah baru yang harus dihadapi, bahkan masalah yang tidak jarang membuat diri kebingungan mencari jalan keluar.

Sabiya sadar, ketika memutuskan menikah berarti ia siap menerima orang baru dalam kehidupannya. Orang yang akan menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya, tentu harapannya tetap bersama tak hanya di dunia saja. Ia juga harus siap menerima segala kekurangan pasangan yang sebelumnya tidak diketahui. Sebab, jika hati tidak dibiasakan ikhlas untuk menerima kekurangannya, tidak menutup kemungkinan emosi akan menguasai diri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang