Thirty Fifth

2.4K 257 65
                                    

Yassar menunggu di pintu keluar stasiun Bandung. Keretanya sampai pukul sebelas malam. Nizar terlihat mengantuk, dia bersandar pada dinding dan menutup matanya. Mereka sedang menunggu grab car yang dipesan beberapa menit lalu. Sebenarnya dari pihak panitia menawarkan untuk menjemput, namun Yassar tidak mau merepotkan. Baginya, diundang untuk mengisi acara adalah ladang amal, ajang untuk menebar manfaat lewat cerita. Sehingga setiap kali diminta untuk menjadi pembicara, dia tidak pernah mematok tarif. Bahkan terkadang untuk ongkos saja dia memakai uang pribadi.

Sebuah honda brio berwarna hitam berhenti di depan mereka. Butuh waktu kurang lebih setengah jam untuk sampai di lokasi acara. Nizar langsung tertidur begitu duduk di kursi belakang, sedangkan Yassar duduk di depan, menemani supir grab berbincang.

Orang di sampingnya mungkin seusia ayahnya. Mereka asik membicarakan soal sejarah kota Bandung. Ternyata bapak itu mengetahui banyak hal, tentu ini menjadi perbincangan menarik bagi Yassar yang menyukai sejarah.

Pukul 12.10 mereka sampai di Universitas Pendidikan Indonesia. Ada dua orang panitia yang sudah menunggu.

Yassar merebahkan tubuh setelah diantar ke dormitory untuk beristirahat. Dia mengambil ponsel di dalam tas. Ternyata ponselnya mati, dia baru sadar selama di kereta tidak mengecek baterai dan men-charge.

Dia berniat tidur sebentar sambil menunggu baterai ponsel terisi. Udara Bandung sangat beda dengan Malang. Dingin mendominasi meski dia berada di dalam ruangan.

Sempat terpikirkan sesaat. Bagaimana kabar Sabiya? Apa dia sudah memberikan balasan?

🍀

Pagi ini rumah Bude ramai orang. Tepatnya sejak ibunya keluar dari rumah sakit kemarin. Sebelum pulang ke rumah, mereka memutuskan untuk menginap satu malam. Katanya sudah lama tidak berkumpul bersama.

Rais terlihat sedang bersiap-siap untuk pergi, ada acara yang harus dihadiri. Sebenernya Sabiya juga diajak, seperti biasa katanya biar ada yang menemani. Tapi dia menolak, karena hari ini akan datang ke kajian Dhabith bersama Rida.

"Dek, kajiannya kan siang. Pagi ini antar Mas dulu lah," bujuknya lagi.

Sabiya tetap menolak, dengan dalih ingin menemani ibunya. Pada akhirnya Rais pergi sendiri.

Sabiya merogoh ponsel dalam saku gamis ketika benda itu terus bergetar. Sebuah panggilan masuk yang berhasil membuatnya terbelalak. Degub jantungnya jadi tidak teratur, dia masih memandangi layar ponsel tanpa menjawab. Sampai akhirnya panggilan itu diakhiri, ada rasa menyesal, seharusnya tadi dia angkat saja teleponnya.

Daris. Orang yang sudah lama tidak bertukar kabar, tiba-tiba menghubunginya. Bahkan hari ini dia langsung menelepon, sebenarnya apa yabg sedang terjadi.

Sabiya membuka aplikasi whatsapp untuk mengecek apakah ada balasan. Ternyata dia harus menelan kecewa, hanya ada tanda centang dua, pesannya sudah dibaca sekitar setengah jam lalu. Menahan rasa kesal, Sabiya menyimpan ponsel di atas meja kemudian pergi ke dapur.

Bisa-bisanya Daris hanya membaca pesannya tanpa memberikan balasan. Membuat orang suudzan dan kesal. Lalu untuk apa tadi dia menelepon. Sabiya memijat pelipis, memikirkan semua hal itu membuatnya pusing.

Sampai saat ini, kepalanya seringkali dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan apakah Daris tetap akan datang padanya atau pada yang lain. Tentang kenapa dia kesulitan untuk melepaskan, perasaan yang seolah terikat padahal tidak seharusnya. Sabiya sadar ini adalah kesalahan terbesar, mengharapkan seseorang sampai sebegitunya.

Daris bukanlah orang yang bertemu dengannya setiap saat. Wajahnya saja dia tidak tahu, Daris tidak pernah memakai foto pribadi di profilnya. Di semua media sosialnya tidak ada gambaran dirinya. Tidak tahu rupa, tapi kenapa rasanya sulit untuk lupa.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang