Sixth Reason

5K 396 2
                                    

Menunggu angkutan umum di pinggir jalan sudah menjadi rutinitas bagi Sabiya. Untuk sampai ke kampus dia memang harus naik angkot satu kali. Rais mana mau mengantarnya kalau bukan Bude yang menyuruh. Namun, Sabiya juga sadar, dia diberi tumpangan di rumah Bude saja sudah alhamdulillah. Lagipula dia tidak ingin terlalu merepotkan, meski kadang dia senang merepotkan Rais.

Berangkat pagi dan satu mata kuliah adalah hal yang kurang disukai. Sabiya pikir, tanggung kalau begitu. Dia harus balik ke rumah dan sorenya harus berangkat mengajar. Seharusnya dia bersyukur masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk melakukan semua hal itu. Sabiya memang belum terlalu pandai bersyukur.

Tidak perlu menunggu lama, angkot di sini sudah cukup banyak. Hingga Sabiya bebas memilih mau naik yang mana. Karena setiap angkot jurusan apapun akan melewati kampusnya. Tak jarang Sabiya menemui angkot yang masih kosong, dan dia menjadi penumpang pertamanya.

Butuh sekitar sepuluh menit untuk sampai dan turun dari angkot. Itu pun kalau jalanan lancar jaya tanpa kemacetan. Jalan kaki ke fakultas butuh waktu sepuluh menit juga dari persimpangan. Belum lagi Sabiya harus naik tangga ke lantai tiga untuk sampai di kelasnya.

Dilihatnya teman-teman masih duduk lesehan di depan kelas. Belum juga sampai di depan, Sabiya sudah dipanggil Triska dan Sarah.

"Eh, Bi, tau gak?" tanya Sarah.

Sabiya menggeleng. Ini orang pagi-pagi udah mau pada gosip aja. Tadinya Sabiya tidak tertarik dan ingin pergi, tapi Triska mencegahnya.

"Nanti bulan Mei, Nanda mau nikah," ujar Triska, dan itu sukses membuat Sabiya terkejut.

"Beneran?" tanyanya tak percaya.

Sarah mengambil posisi menghadap Sabiya sepenuhnya. "Beneran, Bi. Kamu gak lihat tadi snapgram dia. Ada dua cincin, nama dia sama nama calon suaminya."

Masih tidak percaya. Sabiya ragu dengan ucapan teman-temannya kalau belum melihat buktinya sendiri.

"Sumpah? Beneran ih," ulangnya. Sabiya tahu kalau mereka itu suka bercanda.

"Beneran. Ya, masa kita bohong sih." Triska terlihat antusias.

"Wah, alahamdulillah dong," ucap Sabiya pada akhirnya, meski dia masih setengah percaya.

"Nah, kamu kapan, Bi?" celetuk Sarah.

Sabiya yang mendengar itu bergeming sesaat. Sepertinya ada yang salah dengan pertanyaan itu. Ah, tidak. Mungkin saja Sabiya yang merasa salah.

"Ha-ha-ha ... naon, sih," tukasnya. (Apa, sih)

Dosen yang datang menjadi penyelamat bagi Sabiya di saat-saat seperti itu. Tanpa menunggu lama dia langsung masuk tanpa menghiraukan tawa dari teman-temannya. Sabiya merasa sedang dipermainkan kalau begitu caranya. Padahal mereka berdua juga belum punya pasangan, tapi senang menggoda Sabiya.

Sabiya bukannya tidak suka digoda seperti itu. Hanya saja pikirannya langsung terkoneksi pada sosok yang sebenarnya tidak tampak di depan mata. Pada dia yang Sabiya tidak tahu rupanya. Namun, satu hal yang Sabiya yakini. Meski perasaannya terasa salah, Allah akan membersamainya.

Sabiya tidak merasa iri melihat teman-temannya yang terlibat cinta lokasi di kelas. Dia juga tidak iri dengan mereka yang bergandengan tangan di sepanjang jalan. Satu hal yang membuatnya sangat iri. Ketika melihat orang yang sangat kuat keimanan dan pengabdiannya pada Allah.

Sabiya sadar, rasa cinta itu bisa menyusup kapan saja. Dia merasakan hal itu. Kalau saja saat itu dia cukup kuat untuk menahan, tak akan ada kata rindu yang harus tertahan. Karena baginya, rasa itu membunuh secara perlahan. Meski ucapnya mampu menghapus sepenuhnya, nyatanya masih ada sedikit asa.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang