Second Reason

10.1K 568 5
                                    

Langkah pendeknya terhenti saat ponsel di saku gamis maroon miliknya bergetar, menampakkan panggilan Line dari kontak dengan nama Rida. Menggeser tombol hijau, Sabiya meneruskan langkahnya.

Suara yang tak asing itu memenuhi pendengarannya. Pertama ucapan salam seperti biasanya.

"Waalaikumsalam. Iya mau. Kenapa Rid?"

Baru saja Sabiya hendak melangkah menuruni tangga, kakinya terhenti. Dilihatnya ponsel yang masih tersambung dengan panggilan masuk dari Rida.

"Eh, kok aku gak sadar. Tadi aku lihat masih jam sembilan." Sabiya melirik arloji di tangannya. "Astagfirullah, jam tanganku mati ternyata. Udah ada dosen belum?"

Segera setelah panggilan itu dimatikan, Sabiya mempercepat langkahnya.

Siapa sangka dia akan telat masuk kelas. Arloji di tangannya ternyata sudah tak bernyawa, Sabiya asyik mengerjakan tugas di sekre karena merasa waktunya masih lama.

Kelas Qiraah dimulai pukul 10.20., saat ini sudah pukul 10.55.

Sabiya telat.

Mempercepat langkahnya, Sabiya hampir terpeleset di tangga kalau saja tangannya tidak segera menahan pada pegangan tangga.

Astagfirullah, gumamnya.

Sabiya sudah berniat untuk berlari ketika sampai di fakultas. Namun, niatnya terhenti saat ucapan seseorang masuk ke dalam kepalanya.

Kalau udah tahu bakal telat. Ya udah, jangan buru-buru. Toh bakal telat juga. Kamu hati-hati.

Sabiya menggeleng keras.

Nggak, nggak, pikirnya melawan.

Bagaimana bisa ada susara seperti itu di dalam pikirannya. Mungkin Sabiya harus benar-benar tidur dan istirahat yang cukup.

Membulatkan tekad, setengah berlari Sabiya mengejar waktu.

Tak hentinya Sabiya terus menggumamkan kalimat istigfar. Menggelengkan kepala berkali-kali.

Ucapan yang masuk ke dalam pikirannya terus saja mengoceh seolah sebuah peringatan.

Tanpa bisa dihindari, Sabiya menabrak seseorang hingga terjatuh. Tepat di halaman depan fakultas. Rasanya sakit, karena berbenturan langsung dengan paving block. Susah payah Sabiya berjalan menaiki tangga hingga ke lantai tiga untuk sampai ke kelasnya. Kalau saja lift bisa digunakan oleh mahasiswa dari lantai satu, Sabiya tidak perlu memaksakan kakinya yang mulai terasa sakit.

Sesampainya di lantai tiga, gadis itu berjalan menuju Ruang 25. Suasana di dalam kelas terdengar ricuh, dengan pintu yang masih terbuka. Alamat belum ada dosen.

Menampakkan setengah wajahnya, Sabiya mengintip. Benar, belum ada dosen. Atau mungkin dosen sudah keluar sebelum Sabiya masuk?

Dengan langkah terseret, dia masuk dan langsung duduk, menahan rasa sakit yang semakin terasa. Sabiya melepas sepatunya. Terasa sakit saat dia memegang pergelangan kakinya, sepertinya terkilir.

Jangan buru-buru. Toh bakal telat juga.

Lagi-lagi ucapan itu merasuki pikirannya.

Oke. Kali ini Sabiya mengaku salah.

Ucapan yang melintasi pikirannya bagaikan fantasi yang berubah nyata. Kenyataannya Sabiya benci hal itu. Membuatnya teringat pada hal yang seharusnya dilupakan.

Kamu hati-hati.

Masih saja peringatan itu melintas di pikirannya. Membuat Sabiya menggeram.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang