Thirty

3.2K 279 25
                                    

Tatapannya tertuju pada lantai yang terasa dingin. Keberanian belum juga muncul, bahkan untuk sekadar menunjukkan wajah. Jemarinya bertautan menghalau gelisah. Mencoba meredup debaran yang semakin kencang, juga rasa malu akibat ucapannya semalam.

Mama dan Papa masih terus memandanginya. Rasanya seperti menjadi terdakwa yang sedang diinterogasi, suasananya benar-benar menegangkan.

Setalah berbicara bahwa dia ingin melamar seseorang, Papa tidak memberikan jawaban. Semalam Papa hanya tersenyum, kemudian menepuk pundaknya lalu keluar dari kamar. Tidak disangka pagi ini ucapannya akan dibahas lebih serius. Padahal sekarang dia berniat ke rumah Nizar untuk memberikan materi video selanjutnya. Namun, sebelum berhasil keluar dari rumah, Papa menahannya, setidaknya sampai persoalannya benar-benar selesai.

"Jadi siapa orangnya? Padahal dari kemarin Mama sudah tanya."

Suara Mama memecah keheningan. Papa bukan orang yang senang memulai pembicaraan, tetapi beliau selalu bisa menjadi pendengar yang baik.

Yassar kira dirinya sudah benar-benar siap ketika memberitahu Papa. Sayangnya, saat ini dia justru terdiam ketika Mama bertanya. Bingung harus memulai cerita dari mana.

"Jadi gini... pokoknya, intinya aku mau nikah. Tapi, bukan sama Annisa."

"Terus?" tanya Papa. Tatapannya menuntut jawaban Yassar, pun dengan Mama yang tak sabar terus memerhatikannya.

"Annisa juga sebenarnya lumayan lho, Yas," ujar Mama.

"Ma," rengeknya. Terdengar tawa renyah Mama yang membuatnya cemberut.

Suasana kembali hening, kedua orang tuanya menanti jawaban. Yassar masih memikirkan apakah keputusan yang diambilnya ini sudah benar atau masih diambang keraguan yang belum menemukan ujungnya.

"Jangan ragu, kalau memang sudah ada calonnya tinggal ceritakan saja. Mama ndak maksa kamu mesti sama Annisa. Kalau ndak cerita siapa orangnya, bagaimana Mama bisa tahu. Kamu harus berani mengambil keputusan, Yas. Kalau mau melamarnya, Mama dan Papa ya pasti siap."

Apa yang dikatakan Mama memang benar, kalau tidak berani mengambil langkah sejak saat ini, kesempatannya bisa saja hilang.

"Iya iya, aku cerita. Tapi bukan dari awal, terlalu panjang. Namanya Sabiya, dia kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Awalnya aku belum pernah ketemu orangnya, dulu sebatas sering chattingan dan―"

"Lho belum ketemu orangnya kok tiba-tiba mau melamar, bagaimana kalau dia ndak―"

"Mbok ya dengarkan saja dulu anaknya cerita," ujar Papa.

"Aku tahu ini ndak masuk akal, ndak ngerti juga kenapa bisa sampai tertarik sama perempuan itu. Tapi, sekarang ini ada yang jauh lebih penting. Kemarin waktu ngisi acara di UM ternyata aku ketemu Sabiya. Awalnya gak sadar, cuma ada hal yang bikin penasaran, sampai beranikan diri datang ke sana lagi. Di sana ketemu sama temannya, ternyata Sabiya lagi ikut program pertukaran pelajar."

"Memangnya kamu ndak tahu dia ada di sini? Ndak ngabarin atau apa?"

"Ndak, Ma. Soalnya udah lama ndak chattingan, setelah tahu itu salah."

"Salah gimana?" tanya Papa.

"Ya salah. Kita chattingan berduaan terus, itu sama aja khalwat meskipun ndak ketemu langsung. Dan juga gara-gara sering chatting jadinya seolah ndak ada jarak. Jadi, waktu itu kami memutuskan buat ndak berkomunikasi lagi."

Orang tuanya terlihat saling melempar pandang, kemudian tersenyum ke arahnya. Belum ada jawaban dari keduanya, entah sedang memikirkan kata-kata yang harus dilontarkan pada anaknya yang meminta izin untuk menikah.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang